Haruskah Negara Mengakui Agama?

[Semarang –elsaonline.com] Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin, melontarkan pernyataan menarik. Ia menyebut bahwa pemeluk Agama Bahai ada di Indonesia. Pemeluk agama ini tersebar di Banyuwangi, Jakarta, Medan, Surabaya, Palopo, Bandung, Malang dan lainnya.

Putera KH. Syaifudin Zuhri, Menteri agama di tahun 1962-1967 itu kemudian menyatakan bahwa Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945. Berdasar UU 1/PNPS/1965 (selanjutnya ditulis PNPS 1965), lanjut Lukman, dinyatakan bahwa agama Baha’i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Ia berpendapat umat Baha’i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dan lainnya dari Pemerintah.

Lalu, mantan Wakil Ketua Majelis Perwakilan Rakyat tersebut menyodorkan satu masalah yang mesti dikaji secara mendalam. Problem itu adalah apakah dalam konteks bernegara Pemerintah berhak mengakui atau tak mengakui suatu keyakinan itu agama/bukan? Karena itu, ia meminta masukan kepada siapapun bagi Depag untuk mengurai keruwetan hubungan antara agama dan negara tersebut.

Tulisan ini bermaksud untuk membidik dua masalah di atas, yakni efek domino dijaminnya penganut Bahai untuk dilayani secara administratif dan mandat konstitusional tentang hubungan agama dan negara.

Mencermati PNPS 1965, kita mengetahui kalau di UU tersebut membedakan sikap terhadap agama. Terhadap pemeluk Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Khong Cu (Confusius), negara selain memberikan jaminan juga memberikan bantuan dan perlindungan sebagaimana yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Dijelaskan dalam PNPS 1965, eksistensi enam agama tersebut, sesuai dengan penjelasan, karena agama-agama itu bisa dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Selain itu, 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.

Baca Juga  15 Siswa Sedulur Sikep Sedang Bersekolah

Di luar agama yang enam, ada juga agama lain. Terhadap agama itu, negara memberikan jaminan perlindungan selama tidak bertentangan dengan Undang-undang. Dalam PNPS 1965 ditegaskan ”…ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasturian, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lainnya”.

Kalau melihat struktur “nalar negara” pada penjelasan pasal ini, maka bisa diketahui kalau semua warga negara yang beragama mendapatkan jaminan. Tetapi jaminan tersebut, dibelahpilah menjadi ”jaminan dengan bantuan” dan ”jaminan tanpa bantuan”. Jaminan dengan bantuan itu tidak lain dari gambaran prilaku negara terhadap “agama resmi” sementara “jaminan tanpa bantuan” diberikan kepada mereka yang berada di luar agama tersebut.

Jika toh Bahai kemudian diberikan haknya untuk memperoleh pelayanan administratif, maka hal itu juga berlaku bagi penganut agama lain, termasuk Yahudi, Zoroaster, Tao, Sinto, Rastafarian, dan agama-agama lainnya.

Ini belum berarti masalah tuntas. Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa ada pemilahan antara “jaminan dengan bantuan” dan “jaminan tanpa bantuan?” Pertanyaan inilah yang menggiring pada problem kedua, soal bagaimana yang mesti dilakukan negara dalam konteks hubungannya dengan agama.

Dalam pasal 29, tugas negara adalah “menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Jadi, yang eksplisit disebutkan dalam konstitusi adalah fungsi untuk menjamin. Dengan begitu, tidak ada “fungsi mengakui” sebenarnya disini.

Secara umum, dalam dokumen Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional ditegaskan, dalam hubungannya dengan agama, maka tugas negara adalah to respect (menghargai), to protect (melindungi) dan to fulfill (memenuhi). Dalam hak yang berkaitan dengan hak sipil dan politik maka negara harus menjalankan dua fungsi pertama. Utamanya tentu hanya pada fungsi mengakui. Fungsi perlindungan baru diimplementasikan ketika ada horizontal effect of human rights.

Baca Juga  Terancam Simbol: Ringkasan Peristiwa Intoleransi di Jawa Tengah 2020

Fungsi untuk mengakui, dengan demikian, sesungguhnya tidak merupakan tugas negara. Negara tidak berhak mengakui atau tidak sebuah agama. Negara hanyalah bertugas untuk menghormati keberagamaan. Pada nantinya, ini tentu saja akan sangat berkaitan dengan mekanisme tugas Departemen Agama ke depan. Memang perlu disadari, bahwa efek dari cara pandang ini akan sangat sitemik terhadap kehidupan beragama dalam bingkai negara. Apakah misalnya harus tetap ada Direktorat Jenderal (Islam, Kristen, Katolik dan lain-lain) di Depag? Atau bagaimana tugas Depag ke depan terkait dengan pelayanan kehidupan beragama? Masalah yang meski pelik untuk diurai, tetapi setidaknya bisa dimulai dengan membuka cara pandang bahwa negara tidak perlu mengakui agama. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini