Perbedaan Budaya Picu Konflik

BERBINCANG: Guntur Romli (kanan) berbincang dengan Abu Hapsin (kiri) di kediamannya beberapa waktu lalu.
BERBINCANG: Guntur Romli (kanan) berbincang dengan Abu Hapsin (kiri) di kediamannya beberapa waktu lalu.

[Semarang –elsaonline.com] Persinggungan budaya yang berbeda antara satu negara dengan lainnya dinilai bisa memicu konflik. Hal ini diambil dari beberapa kasus kekerasan dan konflik yang terjadi karena perbedaan budaya dalam satu agama.

Kondisi demikian membuat Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah (Jateng) Abu Hapsin Ph.D mengamanatkan kepada semua warga NU supaya tak terpengaruh dengan banyak budaya yang masuk ke Indonesia khususnya Jateng.

“Identitas itu penting. Karena itu kalau ada istighosah, saya instruksikan kepada warga NU untuk pakai peci hitam, bukan peci putih” tegas mantan Ketua Koordinator Cabang (Korcab) PMII Jateng ini. Ia menyampaikan itu di sela-sela ngobrol ringan di pagi hari, beberapa waktu lalu bersama intelektual muda NU, Ulil Abshar Abdalla.

Abu menilai, identitas keislaman Jawa harus tetap dipegang teguh. Dari mulai ritual kegamaan, berpakaian hingga tradisi-tradisi kegamaan lainnya. “Peci hitam itu, Jawa, kalau peci putih itu terlalu ke Arab-araban. Dalam ritual keagamaan Islam Jawa tak bisa dipisahkan dari tradisi-tradisi seperti tahlilan,” imbuhnya.

Persinggungan antar budaya di Jawa nyatanya bisa memicu konflik. Abu mengambil contoh beberapa kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di Jateng akibat perbedaan budaya dan ritual kegamaan. ”Karena beda pendapat soal tahlil, suatu kelompok mengharamkan kelompok lain. Terjadilah saling menyalahkan hingga terjadi adu fisik,” tuturnya.

Sebagai informasi, di Jateng termasuk jamak terjadi kasus kekerasan antar kelompok karena dipicu perbedaan paham keagamaan. Satu kelompok yang merasa tidak sepakat dengan tahlilan, ziarah dan ritual lainnya kemudian mengharam-haramkan kelompok lain.

Ketika sudah terjebak dalam posisi saling menjelekan dan saling mengharamkan maka potensi bentrok fisik sangat besar. Siapa pun, jika paham atau keyakinan keagamannya dijelekan apalagi diharamkan pasti akan timbul amarah sehingga memiliki rasa dendam.

Baca Juga  "Saya Lebih Percaya Diri Jadi Penghayat"

Tamu yang Baik

Abu menilai, budaya atau tradisi pendatang sejatinya menyesuaikan dengan budaya yang ada. Meskipun dua perjumpaan budaya itu tak bisa diastukan, minimal budaya imigram harus menghormati traisi-tradisi yang ada.

”Persoalannya imigran yang datang ke Indonesia juga tak bisa menjadi tamu yang baik dengan menghormati budaya keislaman yang ada. Tidak kemudian menjelekan yang ada dan sudah lama mengakar di masyarakat, ”  kata dia, sembari menikmati kopi pagi.

Dalam skala internasional, pria kelahiran Kuningan Jawa Barat ini mencontohkan peristiwa yang terjadi di Kedutaan Besar Palestina di Amerika. Ketika itu seorang khotib Jumat didemo hanya karena menyampaikan bahwa Muslim Palestina bisa menjadi seorang muslim yang baik dan menjadi orang Amerika yang baik.

”Di Kedubes Palestina untuk Amerika waktu saya disana imamnya berkhotbah dengan menasehati dengan sangat baik. Bahwa meskipun di lingkungan Yahudi di Amerika bisa berislam dengan baik, ya tujuannya supaya rukun. Eh, malah imamnya di demo, disalahkan,” terangnya.

Perbicangan dengan suguhan kopi dan teh hangat itu berlangsung mengalir. Selain Abu Hapsin dan Ulil hadir pula aktifis komunitas Salihara Jakarta Guntur Romli bersama Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Tedi Kholiludin dan beberapa stafnya.

Ulil yang masih mengenakan pakaian olahraga pagi itu menyambung pembicaraan Abu dengan merujuk pada masa pasukan Muslim menaklukan Persia. Persia itu budayanya sangat kuat sehingga mereka tak terpengaruh oleh budaya Arab-Islamnya.

Ia sepakat dengan apa yang diungkapkan Abu soal imigran Arab yang kurang bisa menghormati budaya setempat. Menurutnya, hampir di semua negara imigran arab ingin menguasai budaya Islam yang dibawanya dari Timur Tengah.

”Dulu, pada masa Umar bin Khattab Persia ditaklukan. Tentara yang menyerang Persia membawa pulang harta rampasan ke Medinah. Melihat banyaknya emas, dan perhiasan lainnya, Umar menyuruh untuk tidak membagi-bagikannya. Ini kalau kita melihat ada semacam kekhawatiran ketika ghanimah itu ketika dibagi akan membuat tentara bisa saling berebut dan berkonflik sehingga mudah diserang balik oleh bangsa Persi,” tutur Ulil.

Baca Juga  Lebih Tenang Menganut Sedulur Sikep
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini