Masyarakat Tionghoa Muslim Semarang

[Semarang –elsaonline.com] Jelang tahun 1960 atau sekitar tahun 1957-1959, Donald Earl Wilmott melakukan penelitian untuk disertasinya di Cornell University. Judulnya, Socio Cultural Change Among the Chinese Semarang. Ia meneliti soal perubahan sosial di kalangan masyarakat Tionghoa di Semarang. Tentang karakteristik masyarakat Tionghoa, Willmot mengatakan, “Toleransi beragama, eklektisisme, this-worldliness dan agnostisisme merupakan karakteristik umum masyarakat Cina baik di Cina sendiri maupun di Semarang.”

Sejak 1431-1433, tahun-tahun terakhir Cheng Ho mengunjungi nusantara, tidak ada catatan yang merekam kedatang Muslim Tionghoa di Indonesia. Beberapa kalangan Tionghoa masuk Islam, kebanyakan terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Di Semarang, hingga tahun akhir tahun 1950-an, warga Tionghoa yang beragama Islam hanya 30-40 orang saja. “Dari 500 orang Tionghoa yang mengisi kuesioner, hanya 2 responden saja yang memiliki orang tua Islam. Itu pun mereka tidak mengikuti agama orang tuanya,” kata Willmott.

Upaya untuk melakukan islamisasi di kalangan warga Tionghoa bukanenya tidak ada. Tahun 1938 misalnya, mubaligh dari Persatuan Islam Tionghoa (sekarang bernama Pembina Iman Tahuid Islam, juga kerap disebut Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia atau PITI) datang ke Semarang. Pengajian dilaksanakan di Hwa Joe Hwee Kwan. Tapi tidak banyak yang tertarik untuk memeluk Islam.

Haji Abdul Karim Oei, salah satu pendiri PITI menjelaskan bahwa tidak mudah bagi seorang Tionghoa menerima ajaran Islam. “Ada di antara orang-orang Tionghoa yang masuk Islam, sehabis mengucapkan kalimat Syahadat terus ia pakai sarung, pakai songkok, dan supaya lebih dikenal lagi memilih songkok putih, dan tiap-tiap hari Kamis dan Jumat datang kemsjid membawa buntalan beras untuk minta sedekah. Orang-orang Tionghoa yan glain yang melihatnya lalu menunjuk dan berkata dengan sinisnya: Laa, lihat, dia telah menukar bangsanya dengan Arab dan sudah jadi pengemis”. Akibatnya apa? Orang-orang Cina yang memang sudah prasangka pada Islam makin menjauhi Islam,” kata Abdul Karim kepada Pandji Masyarakat tahun 1972 seperti dikutip Amen Budiman dalam Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia.

Baca Juga  Siapa Yang Pertama Menyebut Sedulur Sikep?

Faktor penghambat lainnya, kata Abdul Karim adalah tindakan yang tidak sesuai dengan ucapan. “Mubaligh-mubaligh di kampung mislanya sering menganjurkan dalam pidato-pidatonya, seperti kata-katanya: kalau berhutang hendaklah dibayar, jangan melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan jangan mengumpat orang lain, jangan berdusta dan seterusnya,” lanjut Abdul Karim. Tapi nyatanya, justru banyak orang Islam yang paling banyak berhutang. Dan yang kerap menyakitkan orang Tionghoa, banyak toko-toko milik orang Tionghoa yang habis dibakar. Perilaku ini yang dengan mudah merusak gambaran Islam di mata bukan orang Islam. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Harmoni, Kemanunggalan dan Rasa: Menyelami Jawa yang terus Bergerak

Oleh: Tedi Kholiludin Budaya Jawa yang Adaptif Saya hendak mengawali...

Panggung Sosial dan Lahirnya Stigma

Oleh: Tedi Kholiludin Kapan dan bagaimana stigma bekerja? Karya klasik Erving...

Meritokrasi dan Privilege: Dua Wajah dari Keadilan yang Pincang

Oleh: Alfian Ihsan Dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Setiap...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini