Melampaui Simbol dan Dogma

Semarang, elsaonline.com – Jaringan Lintas Agama dan Kepercayaan Kota Semarang mengadakan Haul Gus Dur ke-XII yang digelar secara hybrid di Aula Vihara Tanah Putih pada Jumat, 11 Februari 2022.

Haul tersebut diisi dengan berbagai penampilan dari perwakilan berbagai agama dan penghayat kepercayaan. Penampilan rebana dari PMII Rayon Abdurrahman Wahid UIN Walisongo hingga macapat yang dibawakan oleh Perempuan Penghayat Indonesia Jawa Tengah juga turut memeriahkan acara tersebut.

Haul mengenang dua belas tahun kepulangan Gus Dur tersebut mengusung tema ‘Melampaui Sekat Keberagaman’. Menurut ketua acara Haul Gus Dur, Ahmad Sajidin menjelaskan, tema tersebut diambil dari realitas yang ada di jaringan lintas agama Kota Semarang.

“Tema ini diambil berkaca pada realitas jaringan lintas agama dan kepercayaan Kota Semarang yang sering melakukan kolaborasi. Kolaborasi ini ada, karena masing-masing dari kami bisa melampaui keberagaman. Tidak membincang keberbedaan namun, saling mengedepankan persamaan,” tuturnya saat memberikan sambutan.

Menurut Koordinator Gusdurian Semarang tersebut, melampaui sekat keberagaman juga ditunjukan jaringan lintas agama dan kepercayaan Kota Semarang dalam Haul Gus Dur kedua belas tahun ini.

“18 organisasi lintas agama dan kepercayaan yang ada di Kota Semarang ambil bagian dalam persiapan hingga pelaksanaan acara ini,” ungkapnya.

Toleransi; Melampaui Simbol dan Dogma

Acara haul Gus Dur yang dihadiri sekitar 200 orang baik offline maupun online tersebut turut diisi dengan refleksi dengan Ketua Perkumpulan Rasa Dharma, Harjanto Halim sebagai perefleksi.

Dalam penyampaian refleksinya, pria yang akrab dipanggil Halim tersebut menjelaskan bahwa, toleransi tidak hanya berhenti pada penampilan rebana yang dilakukan di dalam Vihara.

“Toleransi tidak berhenti sampai di sana. Akan tetapi, toleransi itu melampaui dogma dan juga simbolisasi agama atau kepercayaan,” paparnya.

Baca Juga  Kontekstualisasi “Resolusi Jihad”

Baginya, dalam bertoleransi poin pentingnya adalah kemanusiaan. Kemanusiaan, tambahnya, memiliki posisi yang lebih tinggi dari dogma-dogma yang ada.

“Mestinya, sebagai Tionghoa, saya tidak boleh pakai pakaian selain merah hingga Cap Go Meh nanti. Terlebih warna putih dan hitam yang merupakan warna kesedihan. Tapi baju ini pemberian seorang kiai. Maka, untuk menghormatinya saya kenakan pada acara malam ini. Karena kemanusaiaan, lebih tinggi dari dogma dan simbol,” terangnya.

CEO PT Marimas Putera Kencana tersebut juga menyampaikan, Gus Dur merupakan tokoh yang dapat melampaui dogma dan simbol agama untuk kemanusiaan.

“Saat kita ingin meneladani Gus Dur maka, kita musti bisa melewati sekat dogma. Jika kita masih terpasung pada simbol-simbol maka, kita belum bisa meneladani Gus Dur secara utuh,” jelasnya.

Di kesempatan yang sama, dirinya juga menyampaikan, rasa kemanusaiaan perlu ditingkatkan hingga level bisa welas asih terhadap sesame makhluk.

“Kemanusaiaan yang ada dalam diri perlu ditingkatkan lagi agar masing-masing kita bisa lebih welas asih terhadap sesame hidup. Untuk meneladani Gus Dur, maka yang dilakukan pertama adalah dengan melakukan pengakuan sejujur-jujurnya,” ungkapnya.(Adib/Sidik)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Di Balik Ketenangan Jalsah Salanah di Krucil Banjarnegara

Oleh: Tedi Kholiludin Letak Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang...

“Everyday Religious Freedom:” Cara Baru Melihat Kebebasan Beragama

Oleh: Tedi Kholiludin Salah satu gagasan kebebasan beragama yang...

Penanggulangan HIV dan Krisis Senyap di Garda Depan

Oleh: Abdus Salam Staf Monitoring Penanggulangan HIV/AIDS di Yayasan ELSA...

Fragmen Kebangsaan dari yang Ter(Di)pinggirkan

Oleh: Tedi Kholiludin Percakapan mengenai kebangsaan dan negara modern, sering...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini