Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin

Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan kekerasan. Padahal, konflik tidak selalu berujung kekerasan, meski kekerasan bisa dikatakan sebagai salah satu fitur dari konflik. Ada beberapa tahap yang dilewati sebelum kemudian terjadi kekerasan. Tahapan dalam konflik yang terus menerus mengalami peningkatan (hingga terjadi kekerasan atau peperangan), disebut eskalasi.

Konflik itu sendiri bisa dimaknai sebagai keberadaan posisi yang tidak kompatibel atau the existence of incompatible positions (Jacob Bercovitch, 2009). Konflik merupakan sesuatu yang normal, ada di mana-mana, dan hal yang tak terhindarkan. Dalam The SAGE Handbook of Conflict Resolution dijelaskan bahwa eskalasi adalah bentuk konflik yang dinamis (escalation is dynamic conflict). Terkadang, langkah-langkah dapat diambil untuk menghilangkan atau menguranginya; namun lebih sering, langkah-langkah tersebut bertujuan untuk mencegah konflik berubah menjadi kekerasan.

Kalimat bahwa “eskalasi adalah bentuk konflik yang dinamis,” penting untuk dijabarkan. Kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa konflik tidak bersifat statis, namun bisa berkembang, mengalami peningkatan atau berubah bentuk seiring perubahan waktu. Eskalasi konflik berarti bahwa konflik meningkat secara intensitas, skala, atau pihak-pihak yang terlibat.

Bentuk-bentuk eskalasi bisa dilihat misalnya dalam perubahan dari perselisihan verbal yang meningkat menjadi konfrontasi fisik. Perubahan juga bisa terjadi dari konflik lokal menjadi konflik berskala nasional atau internasional. Konflik yang mengalami eskalasi sering kali lebih sulit dikendalikan karena semakin banyak faktor yang terlibat, termasuk emosi, kepentingan politik, atau intervensi pihak ketiga.

Seperti digambarkan di awal, sebelum kemudian terjadi kekerasan, konflik itu berkembang dalam beberapa tahap. Fase awal dari konflik adalah perbedaan. Dari sini yang dimaksud adalah perbedaan kepentingan, pendapat, atau tujuan dari para pihak yang terlibat. Jika tidak dikelola, perbedaan tersebut berpotensi memunculkan ketegangan dan perasaan tidak puas dari satu atau para pihak yang terlibat. Itulah yang disebut dengan kontradiksi.

Baca Juga  Gereja Karismatik, Partisipasi Publik dan Isu Kristenisasi

Pihak-pihak yang berkonflik kemudian mulai berhimpun dalam sebuah kelompok sembari memperkuat identitasnya. Proses ini kita kenali sebagai polarisasi. Dalam tahap ini, seseorang atau sebuah kelompok sering melihat pihak lain sebagai lawan. Ketika sudah tidak bisa dikendalikan, polarisasi bukan tidak mungkin meningkat menjadi kekerasan, baik yang bersifat langsung, verbal atau fisik. Puncak dari eskalasi konflik adalah konfrontasi dalam skala besar dalam bentuk perang atau tindakan agresif lainnya.

Deeskalasi konflik adalah tindakan sebaliknya, upaya menurunkan ketegangan baik melalui mediasi, negosiasi, diplomasi atau cara lain agar konflik tidak berkembang menjadi destruktif. Setelah mencapai puncaknya, konflik kemudian mereda setelah melewati beberapa proses resolusi.

Tahap awal deeskalasi adalah genjatan senjata (ceasefire) ketika terjadi peperangan. Ini adalah kesepakatan mula-mula untuk menghentikan kekerasan secara langsung betapapun akar kekerasannya belum diatasi. Gencatan senjata menjadi babak baru pasca berkecamuknya peperangan. Langkah ini, betapapun belum menyentuh akar masalah, tetapi setidaknya telah mengurangi potensi jatuhnya korban dalam jumlah lebih banyak.

Usai terjadi gencatan senjata, pihak-pihak yang bertikai kemudian mencari solusi bersama, seperti halnya perjanjian damai dan jenis lainnya. Kesepakatan atau agreement menjadi langkah berikut pasca semua pihak menurunkan atau menanggalkan senjata yang sejauh ini digunakan di medan perang. Kesepakan dilakukan untuk mencari jalan keluar dalam aspek-aspek tertentu, seperti batas wilayah, kepemilikan lahan, persetujuan untuk menghormati yang lain, dan seterusnya.

Proses kesepakatan jika dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab oleh semua pihak, pelan-pelan, akan membuat hubungan kembali membaik. Kepercayaan dari masing-masing pihak juga kembali tertanam dan dengan begitu, kehidupan sosial kembali pada level sebelum terjadinya kekerasan. Situasi ini kita kenali sebagai bagian dari proses normalisasi.

Baca Juga  Siapa Yang Pertama Menyebut Sedulur Sikep?

Tahap akhir dari deeskalasi adalah rekonsiliasi. Fase ini ditandai oleh perdamaian dari pihak-pihak yang berkonflik. Mereka belajar dari konflik yang dilalui dan memastikan agar hal itu tidak lagi terjadi di masa depan. Upaya dilakukan dengan tujuan membangun relasi yang lebih harmonis di masa depan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Bukan Penumpukan, Tapi Kecukupan: Refleksi Natal 2025

Oleh: Tedi Kholiludin Pada setiap kebahagiaan yang kita nikmati, selain...

Di Balik Ketenangan Jalsah Salanah di Krucil Banjarnegara

Oleh: Tedi Kholiludin Letak Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang...

“Everyday Religious Freedom:” Cara Baru Melihat Kebebasan Beragama

Oleh: Tedi Kholiludin Salah satu gagasan kebebasan beragama yang...

Penanggulangan HIV dan Krisis Senyap di Garda Depan

Oleh: Abdus Salam Staf Monitoring Penanggulangan HIV/AIDS di Yayasan ELSA...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini