Memetakan Gerakan Islam Progresif

Oleh: Ceprudin

Judul               : Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya
Penulis            : Budhy Munawar-Rachman
Tahun terbit : 2010
Halaman        : LXII+193
Penerbit         : Grasindo, Jakarta

Isu sekularisme, liberalisme dan pluralisme menjadi hangat sejak terbitnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 yang mengharamkannya. Ketiga kata itu populer diperbincangkan bukan hanya oleh kalangan intelektual, tapi juga sampai masyarakat pesantren, pengajian, bahkan hingga mimbar khotbah.

MUI membuat ketentuan hukum sebagai berikut;

Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama… adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.

Ahmad Suaedy, Abdul Moqsith Ghazali dan Rumadi, tiga tokoh pembela sekularisme, liberalisme dan pluralisme dari The Wahid Institute, menyebut bahwa fatwa MUI tampak eksklusif, tidak pluralis, bahkan cendrung diskriminatif. Dan memang implikasi fatwa ini pada masalah perlindungan kebebasan beragama menjadi nyata  bahwa semakin bahwa semakin banyak kasus kebebasan beragama di Indonesia, jauh melebihi tahun-tahun sebelumnya.

Secara bahasa sekularisme adalah paham yang membedakan antara agama dan negara. Paham ini bertentangan dengan sistem pemerintahan khilafah islamiyah atau sistem pemerintahan yang berdasarkan agama. Sementara liberalisme disini merupakan masalah kebebasan berfikir. Kebebasan berfikir ini dianut oleh khilafah kedua Umar bin Khatab dalam memimpin negaranya. Sehingga lahirlah konsep fiqh Umar bin Khatab yang dinilai banyak menyimpang dari ajaran wahyu tapi mengandung asas manfaat dan keadilan. Selanjutnya pluralisme, paham ini menghargai atas keberagaman dalam masyarakat. Liberalisme pemikiran sebenarnya ini yang melahirkan konsekuensi dari proses pluralitas masyarakat modern yang semakin kompleks.

Baca Juga  Busana, Etika dan Status Sosial

Ketiga paham ini semuanya bertujuan untuk menciptakan Islam yang progresif. Aktifis yang konsen dalam bidang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme lahir dari rahim lembaga ormas. Kelembagaan aktifis Islam progresif ini ada dalam pengaruh langsung atau tidak langsung oleh dua gerakan ormas besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Buku ini membahas sepuluh lembaga Islam progresif. Kesemuanya itu berorientasi dekat dengan NU dan Muhammadiyah. Kesepuluh lembaga tersebut adalah: Jaringan Islam Liberal (JIL), Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Yayasan Paramadina, International Center for Islam and Pluralism (ICIP), The Wahid Institut (TWI), Penghimpunan Pengembangan Pesantren dan masyarakat (P3M), Ma’arif Institut dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM ), Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) NU, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), dan Universitas Islam Negri (UIN) Jakarta dan Yogjakarta dengan jaringan IAIN/STAIN di seluruh Indonesia.

Buku ini dirasa representatif memaparkan karakter organisasi yang berkembang di Indonesia. Tapi kiranya, hemat penulis buku ini kurang begitu mendalam jika kita telaah secara seksama. Judul yang begitu wah, karena sedang hangat-hangatnya diperbincangkan oleh kalangan intelektual, tapi penelitiannya hanya sekedar eksplorasi arah pemikiran beberapa LSM dan Ormas Islam.

Beberapa LSM dan Ormas Islam memang sudah disebutkan di atas. Tapi tentu saja pengusung gerakan Islam progresif tidak hanya kelompok yang disebutkan dalam buku ini saja. Kelompok itu membentang mulai dari Sabang hingga Merauke. Jadi, apa yang disebutkan ini hanya sekedar contoh saja, karena begitu banyak contoh lain yang juga tak kalah progresivitasnya.

Semestinya, ketiga kata dalam tema utama yakni, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme menjadi pembahasan yang sangat menarik. Isu ini sudah lama diperbincangkan oleh intelektual muslim. Abdul Moqsith Ghazali misalnya, Ia sudah membahas pluralisme dalam buku Argumen Pluralisme Agama. Buku sangat menggebu-gebu dan menunjukkan argumen berbasis al-Qur’an.

Baca Juga  Perbedaan Budaya Picu Konflik
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini