LAPORAN TAHUNAN KEBEBASAN BERAGAMA
DI JAWA TENGAH TAHUN 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
I. Pendahuluan
Sejak 2008, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang melakukan monitoring terhadap kehidupan keberagamaan di Provinsi Jawa Tengah. Upaya tersebut dimaksudkan untuk melihat sejauhmana perkembangan kehidupan keagamaan yang menyangkut pelanggaran kebebasan beragama, intoleransi dan juga perkembangan yang hadir dalam menginisiasi perdamaian dan kehidupan keagamaan yang lebih baik. Dengan begitu, diharapkan laporan ini akan memberikan informasi yang berimbang, tidak hanya menggambarkan tindak intoleran, tetapi juga niatan luhur yang terkait dengan perbaikan kondisi kehidupan keagamaan di Jawa Tengah.
Meski harus diakui, gambaran yang diberikan ini jauh dari sempurna, tetapi setidaknya, peristiwa-peristiwa yang kami rekam dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan, institusi pendidikan, organisasi keagamaan, teman-teman di NGO dan masyarakat sipil pada umumnya.
Pemantauan yang dilakukan oleh eLSA, terutama masih mengandalkan data yang dieksplorasi oleh media masa, baik cetak maupun elektronik. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan cara turun langsung ke lapangan menelusuri akar-akar konflik atau perdamaian yang tengah berlangsung. Namun, yang utama dari metode pengumpulan data yang kami lakukan masih dengan mengandalkan data yang diberikan oleh teman-teman di media.
Instrumen pokok yang digunakan dalam pemantauan ini mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Pancasila dan UUD 1945. Temuan di lapangan akan diklasifikasi menjadi tiga bagian. Pertama adalah soal pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Dalam wilayah ini, yang menjadi fokus utama pembahasan adalah bagaimana negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk beragama. Setiap pelanggaran baik pelanggaran langsung atau pembiaran terhadap kebebasan beragama masuk dalam kategori ini.
Kedua, situasi toleransi beragama. Maksud temuan ini menyangkut temuan terkait kebebasan beragama, termasuk di dalamnya regulasi-regulasi sosial yang bertentangan dengan semangat toleransi dan kebebasan beragama. Tak haya itu, pada point ini juga kondisi intoleransi, persekusi, serta eksklusi juga dicatat sebagai bagian dari situasi (in)toleransi beragama.
Ketiga, kemajuan dalam kebebasan beragama. Selain membahas soal pelanggaran dan situasi intoleransi, laporan ini juga menyajikan kemajuan-kemajuan yang dicapai, terutama menyangkut kebebasan beragama dan jalinan harmoni seperti yang terjadi di lapangan. Upaya-upaya rekonsiliatif merupakan catatan atas kemajuan itu.
II. Temuan-temuan
Secara umum, situasi keagamaan 2009 di Jawa Tengah masih bisa dikatakan relatif baik. Artinya eskalasi pelanggaran terhadap kebebasan beragama muncul, tapi tidak mencapai angka yang signifikan. Sorotan tentang pelanggaran kebebasan beragama terutama adalah kasus pembubaran pengajian Jemaah Ahmadiyyah di Pondok Pesantren Soko Tunggal, Sendangguwo Semarang, Jum’at (2/1/09). Yang membubarkan pengajian tersebut adalah aparat Polda Jawa Tengah, Polwiltabes Semarang dan Kepolisian Resort Semarang Selatan. Pihak keamanan menengarai, kegiatan yang sedianya berlangsung dari Jum’at hingga Minggu (4/1/09) itu belum mendapatkan izin pelaksanaan. Pihak kepolisian hanya menerima surat pemberitahuan dari pimpinan Pesantren Soko Tunggal. Dalam pemantauan eLSA kasus inilah yang cukup mencuat sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Jawa Tengah. Jumlah keseluruhan ada 3 kasus pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Tengah.
Selain melakukan pemantauan terhadap pelanggaran kebebasan beragama, eLSA juga mengikuti perkembangan tingkat toleransi di level masyarakat sipil. Jika dibandingkan dengan pelanggaran kebebasan beragama, situasi toleransi yang termasuk didalamnya intoleransi, hate speech dan intervensi terhadap keyakinan justru lebih banyak. Kami mencatat situasi intoleransi ini mencapai jumlah 29 kasus.
Beberapa yang mencolok dan sempat menjadi bahan pembicaraan antara lain kasus penutupan paket nasi murah untuk berbuka puasa yang diselenggaraan oleh Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kota Solo pada 28/8/2009. Kasus lainnya menimpa Lembaga Dakwah Islam Indonesia di Klaten dan Temanggung. Warga LDII dari Desa Krakitan, Bayat, menggeruduk Mapolsek setempat, Sabtu (19/9) yang merupakan protes terhadap tindakan seorang ustadz SR warga Dukuh Jombor, Krakitan, Baya yang diduga telah mendiskreditkan LDII di dalam beberapa forum. Sementara warga LDII di Desa Tlogowiro, Kecamatan Bansari, Temanggung hanya bisa mengelus dada melihat mushola miliknya dibakar “masa tak dikenal” pada 6/12.
Sementara kategori Hate Speech muncul misalnya dalam beberapa pertanyaan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Saat menemui Kapolda Jawa Tengah, 27/6, Abu Bakar Ba’asyir mengatakan suatu negara bisa aman jika syariat Islam difungsikan, karena manusia tidak bisa diatur secara baik kecuali dengan ajaran Islam. Abu Bakar Ba’asyir juga mendesak Pemerintah RI, pada 20/8, agar mencabut SK Menperindag No 23/MPP/01/2001 tanggal 10 Januari 2001 yang melegalkan hubungan perdagangan antara Indonesia dengan bangsa Israel.
Tindakan yang melibatkan milisi sipil, dilakukan oleh FPI Surakarta dan Hizbullah Surakarta. FPI menyegel beberapa rumah di Solo yang diduga kuat menjadi penampungan atau tempat praktik prostitusi bagi para pekerja seks komersial (PSK) pada 4/7. FPI Surakarta juga bersitegang dengan anggota Polres Klaten pada Selasa (2/6) kala menyampaikan dukungan pemberantasan miras. Selain FPI, Hizbullah juga bergerak gesit di Kota Surakarta dan mendatangi Solo Radio yang memutar lagu Genjer-genjer, yang dianggap sebagai pembangkit semangat gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selain membahas situasi keagamaan dan pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan dan berekspresi, laporan ini juga merekam beberapa perkembangan kehidupan antar agama yang terpantau. Beberapa diantaranya sudah diinisiasi oleh pemerintahan desa. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Genting, Jambu Kabupaten Semarang, melalui Festival Anak Saleh yang diikuti 450 anak dari keluarga Muslim dan Nasrani sedesa ini, pada 23-24 Mei 2009. Mereka diajarkan langsung mengenai hidup bersama dan menyelesaikan masalah dengan nuansa kebersamaan. Hal lain juga dilakukan oleh Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Demak. GKJ Demak bekerjasama dengan Pemerintah Desa Bandungrejo Kecamatan Mrangen Kabupaten Demak menggelar program Sembako Murah yang dilaksanakan menjelang Idul Fitri, dimana harga kebutuhan sembako meroket di pasaran. Ada juga jalinan persaudaraan juga diupayakan oleh Komunitas Tionghoa dan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah melalui doa bersama untuk kesembuhan Gus Dur di Replika Kapal Cheng Ho, kawasan Klenteng Tay Kak Sie Gang Lombok Semarang, pada 5 September.
Di tempat lain, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surakarta memberikan pedoman yang cukup progresif dalam perizinan rumah ibadah. Mereka yang hendak mendirikan bangunan Mushola atau Langgar (Islam), Kapel atau Stasi (Katholik), Cabang atau Pepanthan (Protestan), Sanggar (Hindu) dan Cetya (Budha) tidak perlu mengajukan IMB kepada Walikota atau mendapatkan rekomendasi dari KakanDepag dan FKUB. Tempat ibadah yang harus dimintakan izin IMB kepada Walikota dan diberikan dengan rekomendasi Kepala Kantor Departemen Agama dan rekomendasi FKUB Kota Suarakarta, diantaranya ; Bangunan Masjid (Islam), Gereja (Katholik dan Protestan), Pura (Hindu), Vihara (Budha) dan Kelentheng (Kong Hu Cu).
III. Analisis dan Rekomendasi
Berdasarkan temuan di lapangan, maka bisa dikatakan bahwa hal yang mencolok dari kehidupan keberagamaan di tahun 2009 adalah maraknya aksi yang dilakukan oleh milisi sipil, terutama di daerah selatan Jawa Tengah (Surakarta dan sekitarnya). Ada dua kemungkinan yang timbul dari “kesigapan” polisi swasta ini. Pertama, hal itu sebagai bentuk partisipasinya masyarakat dalam menjaga ketertiban masyarakat. Kedua, lemahnya penegak hukum sehingga ada distrust dari masyarakat yang kemudian menyebabkan gerakan over-reactive yang diperankan oleh milisi-milisi swasta tersebut. Bentrokan FPI dengan warga maupun pihak keamanan, adalah bukti bahwa mereka tidaklah sedang berpartisipasi menjaga ketertiban. Ada kemungkinan alasan kedua yang mendorong milisi swasta tersebut bergerak secara bringas. Disini ketegasan pihak aparat perlu ditekankan, termasuk ketegasan menindak para “polisi swasta” yang bertindak sesuka hati.
Forum Kerukunan Umat Beragama, sebagai lembaga yang paling berkompeten untuk mengupayakan kehidupan keagamaan yang lebih baik, juga belum berperan banyak. Ini artinya bahwa FKUB perlu diberikan perspektif (HAM, Pluralisme dan Demokrasi) tentang apa yang seharusnya dilaksanakan sebagai sebuah lembaga yang punya peran strategis dalam membangun kerukunan keagamaan.
Jika dilihat dari subjek atau pelaku pelanggaran, maka terlihat cukup bervariasi. Tetapi yang paling banyak tindakan intoleran itu ada di level masyarakat sipil, dengan tentunya tanpa mengabaikan kemungkinan peran pemerintah di dalamnya. Dengan begitu, maka transformasi pemahaman keagamaan yang moderat sesungguhnya mesti berjangkar pada kalangan akar rumput.
Atas dasar itu maka, kami memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak untuk menjadi inisiator dalam upaya membangun perdamaian di Jawa Tengah khususnya. Yang pertama, pemerintah desa. Di desa-desa dengan komposisi penduduk yang heterogen, gesekan-gesekan yang berakibat negatif sudah pasti menjadi tantangan. Tetapi bukan tidak mungkin, heterogenitas itu menjadi ladang yang baik bagi upaya menyemai benih kerukunan. Pemerintah Desa Genting, Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang telah melakukan upaya itu dengan cukup baik. Hal itu juga diikuti oleh Pemerintah Desa Bandungrejo Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Bekerjasama dengan Gereja Kristen Jawa (GKJ) mereka menggelar Pasar Murah di balai desa setempat untuk mengantisipasi meroketnya harga kebutuhan pokok menjelang Idul Fitri.
Rekomendasi berikutnya diberikan kepada FKUB. Inisiatif FKUB Surakarta dengan menerbitkan pedoman pembangunan rumah ibadah yang memberi kemudahan dalam membangun “rumah ibadah kecil” patut diacungi jempol. Hanya saja yang paling urgen dalam membentuk FKUB yang lebih profesional adalah memberi perspektif tentang HAM, Pluralisme dan Demokrasi terhadap lembaga ini. Karena optik inilah yang harus menjadi bagian integral dari FKUB, karena mau tidak mau mereka akan berhadapan dengan fakta-fakta yang terkait dengan masalah ini.
Semarang, 10 Desember 2009
Tedi Kholiludin
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang