Oleh: Tedi Kholiludin
Artikel sederhana ini bermaksud untuk menggambarkan fondasi ajaran Agama DJawa Sunda (ADS), yakni apa yang mereka sebut sebagai “Pikukuh Tilu”, tiga pilar spiritualitas. Tiga ajaran pokok tersebut adalah ngaji badan, iman kana tanah dan ngiblating ratu raja 3-2-4-5-lilima-6.
Igama Djawa-Pasoendan, Agama Djawa Soenda, Madraisme merupakan salah satu bentuk spiritualitas yang dianut oleh masyarakat yang sekarang berada dalam wilayah administratif Jawa Barat. Di Cigugur, Kabupaten Kuningan, tak hanya jejak fisik yang masih bisa ditemui, tetapi juga kelompok masyarakat yang menganut ajaran ini juga ada. Pusat kegiatannya ada di Paseban Tri Panca Tunggal.
Perkembangan Agama Djawa Sunda (ADS) bisa dilihat terutama pada awal abad 20. Ajaran Kebatinan ini didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat, putra Pangeran Alibasa I dari Kesultanan Gebang Cirebon Timur. ADS kemudian berkembang sebagai sebuah ajaran mistik yang menekankan pada laku spiritual yang berbeda dengan agama-agama dunia (world religions).
Dilihat dari ketersambungan teologinya, banyak penulis yang mengidentifikasi ADS ini sebagai agama sunda, tapi dengan pijakan kerangka yang sedikit berbeda. Seperti terbaca dari awal kemunculannya, Kyai Madrais datang dari keluarga keraton. Ia mengembara, dari satu tempat ke tempat lain, hingga kemudian menemukan kesejatian hidup. Jadi, salah satu yang khas dari ADS adalah ruang penyangga yang mula-mula adalah keraton. Ciri ini yang akan selalu kita lihat sebagai bingkai ajaran ADS.
Bagi warga ADS, kepercayaan terhadap Tuhan merupakan dasar bagi segala-galanya. Tuhan itu ada dan Maha Pencipta, Mahakuasa, Mahaadil, Mahaesa dan Maha Pengasih Penyayang. Mereka menyebutnya Pangeran Sikang Sawiji-wiji atau Pangeran Yang Tunggal. Wiji berarti ia adalah inti, maksudnya inti dari kelangsungan hidup di dunia. Energi Tuhan bisa ditransformasikan dalam aspek yang bersifat konkrit. Tuhan yang ada tapi tidak ada yang mengadakan. Tidak berarah dan tidak bertempat.
Pikukuh Tilu berarti tiga hal (ajaran) yang harus dipegang kuat. Ajaran ini ada dan sudah melekat pada diri manusia sejak dirinya lahir. Manusia yang hendak menapaki jalan menuju kesempurnaan hidup, menjadikan tiga fondasi itu sebagai penuntunnya.
Pikukuh pertama adalah ngadji badan (selanjutnya ditulis ngaji badan). Ngaji berarti meneliti, mengkaji, memahami atau menyadari. Sementara badan memiliki dua makna. Arti pertama adalah badan dalam pengertian salira, keseluruhan tubuh. Sementara pengertian kedua badan dalam artian apa yang ada di alam semesta yang bisa diserap oleh panca indera.
Ngaji itu dalam pengertian substantifnya adalah membaca, yang dalam pemahaman ADS dikembangkan sebagai maca uga dina waruga (memahami kualitas diri atau bisa juga disebut semacam kontemplasi atau introspeksi diri). Buku itu tidak hanya yang berisi tulisan saja, tetapi buku yang bersifat titis tulis, yang diciptakan langsung oleh Yang Maha Kuasa. Jika buku itu diciptakan manusia, maka badan adalah karya Tuhan.
Pikukuh kedua adalah Iman atau mikukuh kana tanah. Ada dua macam tanah disini, tanah adegan dan tanah amparan. Ini adalah keberimanan terhadap hukum adikodrati manusia. Atas kuasa Tuhan, manusia diciptakan sesuai kodratnya, takdirnya. Tanah adegan adalah cara ciri manusa atau aturan-aturan yang melekat pada diri manusia baik jasmani maupun rohani, sementara tanah amparan merupakan cara ciri bangsa atau tanah air dimana manusia itu hidup dan dilahirkan yang tentu saja harus dihormati karena menjadi bagian dari jatidiri manusia itu sendiri.
Meski ada penghormatan terhadap diri dan bangsa sendiri, itu tak berarti bahwa harus muncul sikap fanatik. Kepribadian harus dirawat, tapi tetap dengan menghormati kepribadian atau jatidiri bangsa lain dalam kerangka cara ciri manusa tadi, seperti welas asih (saling menyayangi, simpati dan empati sekaligus). Sifat welas asih ini tidak memandang suku, agama, ras, tetapi ia harus diwujudkan kepada siapapun, manusia, binatang atau alam semesta. Iman kana tanah berarti mencinta tanah air termasuk makhluk yang ada didalamnya.
Karena Tuhan memiliki Sifat Kasih Sayang, maka Dia menurunkan tuntunan kepada manusia, sesuai dengan letak geografis, demografis, etnografis, dan lainnya. Hubungan manusia dengan manusia lainnya harus tetap terjaga meski dengan tuntunan yang berbeda. Ini sejalan dengan prinsip dan kepribadian masyarakat Sunda: silih asah (saling mengingatkan), silih asih (saling menyayangi), silih asuh (saling mengasuh atau membimbing), silih jeujeuh (saling membantu), silih deudeuh (saling menyayangi), silih mikanyaah (saling menyayangi) dan silih wangian (saling memberi wewangi).
Prinsip “tujuh silih” itu bisa dilihat misalnya dalam perkembangan agama-agama dunia. Ketika produk kebudayaan semisal wayang atau gamelan itu digunakan sebagai medium penyebaran agama, tidak ada resistensi yang muncul dari masyarakat adat. Itulah keluasan hati karuhun (nenek moyang) orang Sunda. Islam, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik dan agama-agama lain bisa dengan leluasa menggunakan instrumen adat untuk penyebaran ajaran agama. Ini sejalur dengan nama Parahyangan, tempat tradisi Sunda itu berkembang.
Gambaran tentang iman kanah tanah sekaligus menyiratkan pesan terdalam dari masyarakat ADS soal penghargaan terhadap tanah air sebagai kecintaan yang bersifat patriotis sekaligus mendukung kelestarian lingkungan alam sebagai wujud fisiknya. Dalam kehidupan keseharian, hubungan manusia tak bisa lepas dari alam. Manusia tak hanya hidup dan mencukupi dirinya dengan cara mendapatkannya dari alam, bahkan sisa makanan yang tak bisa diuraipun dibuangnya ke alam. Begitupun dalam memaknai kematian. Bagi penganut ADS, kematian adalah kembalnya manusia ke tanah atau bumi, kembali ke asal yang diungkapkan dalam frasa mulih ka jati mulang ka asal (kembali ke asalnya). Tak ada alasan bagi manusia untuk tidak mencintai dan melestarikan alam, karena begitu banyak yang didapatkan olehnya dari alam.
Pikukuh ketiga adalah Ngiblating atau Madep Ratu Raja, 3, 2, 4, 5, lilima dan 6. Madep berarti menghadap kepada ratu raja dalam pengertian simbolis. Ratu berarti nu ngararata sementara raja disini berarti nu ngajagat rata. Keduanya memiliki makna, kurang lebih, menjaga keseimbangan; baik kehidupan manusia maupun alam semesta. Nu ngararata berarti meratakan dan ngarajah (raja-raja) bisa berarti menjinakkan.
Madep ka Ratu Raja bisa juga berarti bahwa manusia itu tidak terlebur ke dalam alam semesta. Tetapi justru sebaliknya, alam semesta yang terlebur ke dalam diri manusia. Manusia dipandang sebagai keseluruhan, dan benda saling terikat dan berhubungan dengan manusia, karenanya manusia memiliki posisi sebagai raja atau puncak alam semesta. Secara simbolis ratu-raja, mengandung makna moral bahwa dunia ini penuh oleh benda atau barang yang tidak rata yang tak teratur dan itu ada dalam diri manusia sendiri. “Ketidakteraturan” itu ada dalam bentuk, kemauan, akal budi, dan rasa yang belum bebas dari kebencian, iri hati, kejahatan dan lainnya. Disinilah pentingnya peran manusia untuk meratakan kemauan, pikiran dan perasaan yang tak teratur sehingga ia disebut ratu raja.
Ratu raja 3 adalah cipta, rasa dan karsa (sir, rasa dan pikiran). Ketiga unsur tersebut biasa disebut Tri Daya Eka Karsa, tiga dalam satu dan satu dalam tiga. Dalam pemahaman ADS, pisahna henteu ngajadi dua, tunggalna henteu ngahiji (terpisahnya tidak menjadi dua, tunggalnya tidak menjadi satu). Ratu raja 2 adalah hukum kesimbangan yang berlawanan, seperti baik-buruk, lahir-batin, pria-wanita, dan seterusnya. Ratu raja 4 merupakan aktivitas dua tangan dan dua kaki yang harus terus dijaga agar tidak melanggar tatanan atau aturan.
Ratu raja 5 terdiri dari; lima indera (pancaindera), lima pancaran daya sukma sejati (awas tan mata/melihat tanpa mata, dangu tan kuping/mendengar tanpa telinga, ambung tan irung/mencium tanpa hidung, ucap tan lambe/berujar tanpa lidah, rasa tanpa rampa/merasa tanpa meraba), lima bangsa (Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, Americana dan Austronesia), cara-ciri manusa (welas asih, undak-usuk, tata karma, budi daya-budi basa, wiwaha yudha na raga) dan cara-ciri bangsa (rupa, adat, basa, aksara dan budaya). Ratu raja lilima yakni sifat dari fungsi indera; jasmani adalah daya yang bergetar karena ada rangsangan dari alam sekitar sementara rohani merupakan daya yang bergetar dalam diri manusia. Ratu raja 6 adalah Tunggal wujud manusia seutuhnya.