“Berdakwah Harus Biqodri ‘Uqulihim”

Bogor, elsaonline.com – Penggunaan kata “mubalig” jangan hanya diartikan sebagai pendakwah yang selama ini kita kenal; dai, seorang penceramah di masjid dan lain-lain. Mubalig merupakan bentuk dari isim fa’il (pelaku), ballaga-yuballigu-tabliig. Dan tablig itu merupakan salah satu sifat nabi.

Menurut Muhammad Wahyuni Nafis, Ketua Yayasan Nurcholis Madjid Society, Mubalig adalah orang yang menyampaikan ajaran-ajaran moral, nilai-nilai kebaikan. Ketika seseorang sedang mengisi seminar, dosen, guru, itu semuanya mubalig.

Pada dasarnya, melakukan tablig, tidak harus menunggu banyak ilmu yang kita ketahui terlebih dahulu. Namun yang harus dikerjakan ada dua macam. Pertama, kita amalkan ilmu kita, karena ilmu tanpa amal maka tidak ada maknanya. Sebagaimana Imam Ghazali menegaskan dalam kitab Ihya Ulumiddin, laa yaquulu al-mar’u ‘aaliman hatta yakuunu ‘aamilan (tidaklah seseorang disebut pandai kalau dia belum mengamalkan).

Nafis memberikan contoh dengan mengungkapkan bacaan hadzrah yang sering dibacakan saat tahlil, yaitu wal ulamail ‘aamilin. Kalau dalam bahasa Indonesia itu merupakan kata majemuk, misalnya sapu tangan, kalau hanya sapu saja, atau tangan saja maka maknanya beda.

“Orang yang banyak berilmu, dan tidak mengamalkannya, maka ketika jadi seorang pemimpin ia akan masuk neraka. Lebih kejam lagi, itu kata nabi,” tegas pria mantan sekretaris pribadi Nurcholish Madjid.

Kedua, metode. Sebelum mencari metode yang pas, kita diajak Nafis untuk menelaah kebelakang terlebih dahulu, saat abad 17, manusia identik sebagai pemburu. Dengan membunuh binatang, dan lain-lain, yang kuatlah ia akan memeroleh pengaruh dan perhatian.

Saat Abad ke 18 disebut dengan Agricultural Age, kita menjadi seorang petani, orang-orang yang dihargai pada abad ke 18 adalah orang-orang yang mempunyai banyak tanah. Dahulu kakeknya Cak Nur, Abdus Syukur adalah seorang tuan tanah, karena dulu dekat dengan dengan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, kakeknya Gus Dur. Masa-masa abad 18 adalah orientasinya orang yang ingin memiliki banyak tanah, sawah dan ladang.

Baca Juga  Demokrasi Harus “Diagamakan”

Kemudian masuk abad 19, Industrial Age, banyak pekerja pabrik, pada abad keemasan ini, orang yang dihargai pada abad itu adalah orang yang mempunyai pekerjaan dan bekerja. Lalu Abad ke 20, Information Age (Pekerja berpengetahuan), dsebut juga generasi x, orang yang dihargai pada abad 20 ini adalah orang-orang kapital, yang mempunyai pabrik, teknologi, dan lain-lain.

Abad 21 merupakan Wisdom Age (kebijaksanaan, kebahagiaan), di atas itu semua. Orang menyebutnya abad kebijaksanaan karena di abad ini adalah puncak dari berbagai kehidupan. Maka anak-anak yang lahir di abad ini disebut sebagai generasi Z.

Generasi Z, atau digital metrics, anak-anak yang belum lahir atau yang belum bisa membaca mereka sudah mengenal teknologi. Anak Taman Kanak-kanak (TK) yang belum bisa membaca, dia sudah tahu memilih permainan bagus yang ada di gadget.

“Anak-anak yang lahir sudah terkondisikan dengan hal-hal yang sifatnya teknologi,” sambung Nafis.

Hal ini karena adanya model pembelajaran VAK (Visual, Audiotory dan Kinesthetic). Multimedia memenuhi tiga unsur tersebut, meliputi gambar geraknya, ada visualnya, ada suaranya, dengan itu anak dapat belajar dengan cepat.

“Misalnya, anak saya menjelang lulus SD tapi belum hafal juz amma, saya dipanggil oleh gurunya. Kemudian saya ambilkan qur’an yang model permainan, cara sukanya belajar dia seperti apa, saya biarkan, sambil jalan-jalan dan loncat-loncat, sejam kemudian dia hafal,” ungkapnya. Fakta ini memunculkan pertanyaan, ini yang tidak bisa menghafal itu anaknya, atau gurunya yang tidak tahu cara mengajar.

Abad 21 kita harus memiliki satu perangkat yang cocok dalam pendidikan. Pendidikan tidak hanya menerapkan pemahaman atau sifatnya menjawab persoalan aspek-aspek pada teknis, misalnya memahami matematika saja. Kalau hanya itu saja yang dipelajari, menurut Nafis, anak-anak hanya jadi robot-robot teknologi di masa yang akan datang.

Baca Juga  Sedulur Sikep Setara Dengan Warga Negara Lainnya

Adanya pelatihan ini adalah menjawab, serta memberikan suatu teknik dan strategi bagaimana anda memasuki abad 21. Banyak bahasa-bahasa yang tidak nyambung pada anak-anak ketika kita mengajar.

Nafis mencontohkan saat dirinya melatih anak-anak SMA, sebelum melatih, ia bertanya dahulu kepada anaknya mengenai lagu-lagu yang sedang digandrungi anak-anak SMA. Dengan memutar lagu kesukaan mereka, kita dapat mengambil hati mereka.

Hal ini menandakan kalau berdakwah itu harus Biqodri ‘Uqulihim, sesuai ukuran (akal-red) mereka, jangan ukuran kita. Tapi kalau nilai-nilai buruk yang ada pada mereka, harus kita bawa menuju kebenaran.

“Makanya, kalau kita mau mengajar ke komunitas yang berbeda dengan kita, kita masuk dahulu ke hati mereka, baru kita bawa ke tujuan yang akan kita ajarkan,” tutupnya. (Ridhallah Alaik)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini