Selain itu, lahan pemakaman tersebut berada di pinggir sungai dan rentan terkena gerusan air. Sehingga, oleh warga direncanakan membuka makam baru hasil swadaya masyarakat. Menurut Ketua Komunitas Lintas Agama dan Keyakinan Pantura (Tali Akrap), Moh Rosyid, mengatakan bahwa selama ini kompleks makam tersebut telah dipilah antara muslim dan Buddhis dalam satu kawasan.
Akan tetapi, lanjut dia, dalam realitanya area makam tak dipilah. “Maklum, karena keluarga ada yang menghendaki dijejer meskipun jenazah muslim dengan Buddhis karena ikatan keluarga,” tutur Rosyid, saat dihubungi elsaonline.com Minggu (22/2) sore. Selain itu, Rosyid menjelaskan, kekisruhan ikhwal makam itu bermula dari hasil rapat warga.
Menurutnya, dalam musyawarah disepakati bahwa makam baru hanya digunakan bagi warga muslim. Setelah dibentuk kepanitiaan, ujar Rosyid, usaha penggalian dana untuk pembelian tanah makam juga melibatkan Perangkat Desa Kutuk. “Namun dalam perkembangannya, oleh sebagian tokoh muslim dan tokoh masyarakat bersikukuh untuk tak melibatkan warga Buddhis. Padahal, oleh sebagian warga, baik muslim dan Buddhis ingin mewujudkan toleransi,” terang Dosen STAIN Kudus ini.
Karena itu, Rosyid berharap dalam mengajarkan agama tak sepotong-potong. Menurutnya, kenyamanan bermasyarakat jauh lebih utama dibanding dengan ego. Lebih jauh Rosyid minta tetap membuat makam yang satu kawasan, meski dipilah. “Ya, karena bertoleransi perlu memahami kiprah Nabi dalam Piagam Madinah. Apalagi kebersamaan di tengah perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan sebagaimana di Desa Kutuk merupakan esensi Islam yang rahmatan lil alamin,” tandasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams/001]