”Sosok Sukarno, sebatas bacaan saya, tak menguasai bahasa arab dengan baik. Namun ia banyak membaca karya tokoh Muslim modernis. Sehingga referensi keislamannya lumayan banyak,” tutur Koordinator Divisi Kajian, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Semarang Khoirul Anwar.
Awang, sapaan akrabnya, menyampaikan itu pada kesempatan diskusi dalam rangka memperingati hari kelahiran Soekarno, 6 Juni 1901 silam. Diskusi ringan bersama aktivis-aktivis Semarangan ini berlangsung di Kantor eLSA, Perumahan Bukit Walisongo Permai, Ngaliyan Semarang, Jumat (6/6) malam.
”Sukarno dalam tulisan dan pidatonya selalu mengutip tokoh-tokoh Islam Timur Tengah. Ia tak jarang mengutip pendapat tokoh di antaranya Jamaludin al Afghani, Muhammad Abduh dan Ali Abdul Roziq. Ketiganya adalah tokoh Islam modernis yang sangat popular pada abad 19-an,” tutur Anwar.
Dalam memahami Islam, Sukarno tak sekadar hanya ritual secara vertikal antara manusia dengan Tuhan. Namun Sukarno mencoba menyeimbangkan antara relasi dengan Tuhan dan relasi sesama manusia. Keyakinan demikian, kata Awang, dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Islam yang dibacanya.
“Hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan manusia) Sukarno sangat seimbang. Pada masa itu, hubungan sesama manusia yang harus diperjuangkan adalah kemerdekaan. Karena itu, ia memperjuangkan kemerdekaan dengan mati-matian,” imbuhnya.
Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur itu menambahkan, Sukarno dalam beragama sangat rasional. Ia melihat Sukarno sosok yang berfikir realistis sesuai dengan kondisi pada saat itu. ”Ini mirip-mirip dengan Abid al Jabiri di Maroko yang mempunyai pandangan negara dan agama harus dipisahkan,” tututrnya.
Nasakom
Pada kesempatan itu hadir Sekretaris Lakpesdam PWNU Jateng Tedi Kholiludin. Ia menyambung pembicaraan diskusi dengan merujuk sebuah buku karangan seorang Jerman, Bernard Dahm. Buku yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan diberi judul ”Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan” tersebut bercerita tentang biografi intelektual Sukarno.
Dalam buku itu digambarkan mengapa Sukarno bisa berfikiran seperti yang sekarang kita kenal. Menurut Tedi, sang revolusi yang meninggal di Jakarta 21 Juni 1970 ini lahir dari sebuah keluarga yang plural. Ibunya seorang Hindu Bali dan bapaknya Sukemi, seorang Kejawen yang amat menjiwai ajaran Teosofi.
”Dia lahir jelas bukan dari tradisi santri, tapi dari abangan yang plural. Sejak kecil Sukarno banyak menghabiskan waktu berjam-jam di perpus ayahnya dengna membaca buku Teosofi. Pada masa SMA di Surabaya ketemulah dengan HOS Cokroaminoto yang dikenal sebagai Raja Tanpa Mahkota. Kepadanya ia banyak belajar tentang Islam,” kata Tedi.
Setelah SMA, Sukarno melanjutkan kuliah di ITB, Bandung. Semasa kuliah ia menemukan literatur-literatur Marxisme.
”Jadi pengetahuan Nasionalisme diperoleh semasa SD-SMP dari ayahnya, Islamisme Semasa SMA dari Cokroamnito dan Marxisme semasa kuliah. Tak heran kalau Sukarno pernah mencetuskan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Karena menurut dia, persemaian yang paling mungkin untuk mengalahkan penjajahan dengan dialektika tiga sokoguru itu,” tandasnya.