[Semarang – elsaonline.com] Jum’at (11/1/13) Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang “mengeja” Cinta dan Tasawuf melalui diskusi rutin mingguan. Diskusi ini cukup hangat karena dihadiri oleh para jomblowan-jomblowati yang tergabung dari aktifis mahasiswa di Semarang. Hadir sebagai pemateri (yang kebetan juga dua-duanya jomblo) dalam kajian ini, Ahmad Fauzi, penulis Artikel “Cinta dan Seksualitas dalam pandangan Sigmund Freud”.
Selain Ahmad Fauzi, diskusi ini juga digawangi oleh Khoirul Anwar yang mengaji “Hubb Fit Tasawwuf dalam pandangan kitab “Tanwirul Quluub”. “Tasawwuf itu pada intinya kejernihan hati. Disini kita akan mencoba mengkaji bagaimana mencapai Tuhan melalui kejernihan hati. Ada beberapa teori mendekati Tuhan; Kalam, Fikih dan Tasawwuf. Dari perspektif Tasawwuf selain kitab Tanwirul Qulub juga ada kitab perspektif fiqih yang dikarang al-Ghozali dan sangat terkenal, yaitu Ihya,” papar Awang (sapaan akrab Khoirul Anwar) dengan menggebu-gebu.
Lebih lanjut lagi, Awang mencoba membedah Cinta secara gramatikal. Banyak yang menganggap bahwa Islam , lanjut Awang, itu tiga bidang; Aqidah, Akhlak dan Hukum. Teori cinta biasanya hanya dianggap dan dimiliki oleh Rabiah al-adawiyah. Padahal Rabiah hanyalah penerus saja. Al-Hubb masuk dalam tasawwuf falsafi. Ini Mirip-mirip dengan “wihdatul wujud”. Mahabbah adalah kecenderungan watak, karena sesuatu itu mengandung kelezatan menurut muhib (yang mencintai).
Kalau dari sisi mahabbah sudah kuat, maka akan menjadi shababah. Alamat atau pertanda cinta kepada Tuhan biasanya dalam tasawwuf itu ditandai dengan memutus keinginan dunia dan akhirat. Jika dunia saja mungkin bisa dimaklumi, tapi keinginan-keinginan akhirat itu tentu yang sulit dipahami. Keinginan akhirat ini biasanya digambarkan dengan rasa ingin masuk surga, dapat bidadari. Itu merupakan syahwat akhirat. Dan hal ini sebenarnya bukan sarana untuk ketemu Tuhan. Awang mengatakan, sabar yang dimiliki oleh pecinta lebih berat dari sabarnya zahid.
Salah satu sufi besar bersyair “uhibbuka la arju bidzalika jannatan. Wa la attaqi naron wa anta murodun. (Aku mencintai-Mu, aku tdk brharap sorga-Mu. Aku juga tdk takut Neraka-Mu. Aku hanya menginginkan-Mu).
Pecinta tergolonga dalam tiga macam; awam, khawash dan khawashul khawash. Cintanya awam merupakan mencintai Tuhan karena “kecantikan”Nya. Sementara khawash merupakan cinta murni tulus. Artinya tidak terkontaminasi dengan syahwat duniawi. Yang terakhir cinta Khawashul khawash yang artinya cinta sebagi ungkapan dari rasa kekaguman yang sangat dalam, hingga kekaguman itu menghilngkan perasaan lain dalam hati.
Setali tiga uang dengan cinta adalah syauq (rindu). Rindu biasanya diartika denga berkobarnya hati untuk menyaksikan (bertemu) sang Kekasih. Ketika seseorang sudah mengalami seperti ini (syauq) maka ia ingin mati karena ingin bertemu Tuhan. Dalam posisi seperti ini posisi perempuan itu disamping fail, juga munfa’il.
Dalam pandangan tasawwuf, perempuan itu lebih kuat dari laki-laki. Laki-laki hanya bisa “menaiki” sementara perempuan setelah dinaiki juga melahirkan. Itulah yang dikatakan sebagai munfail. Seperti Tuhan misalnya. Tuhan akan menciptakan (Khaliq) dan sudah menciptakan (Munkhaliq). Inilah kajian perempuan dari perspektif tasawwuf yang berbeda dari fiqih. Diakhir pembicaraanya Awang memberikan statemen yang diambil dari pendapat Ibnu Araby’. “Dalam pandangan Ibnu Arabiy’, Ia menemukan Tuhan saat bersenggama. Ini karena kesatuan Fail dengan wujud yg memiliki sifat Fail dan Munfail,” pungkas Awang.
Fauzi, dalam pembicaraanya mencoba menghubungkan antara cinta dan seksualitas. “Jika dihubungkan dengan seksualitas, darimana perasaan kegembiraan yg dialami oleh para salik? Itu karena berawal dari seksualitas yg tertekan. Lalu ada kotak deposit dan akan keluar ketika sensor itu bs dikelabui. Misalnya; naluri seks yg tertekan oleh kesadaran (lingkungan, larangan), maka ia muncul dalam bentuk lain yg mirip. Misalnya naik kuda,” tutur Fauzi.
Di akhir diskusi, Awang membacakan beberapa syair
Kaifa tabqo lil ‘asyiqina dzunubun # wa hiya min hirqotil fu’adi tadzubu.
(Bagaimana mungkin dosa bersemayam di hati pecinta # sementara dosa-dosa telah hangus bersih terbakar rasa cinta yg menggelora di hatinya)
Kaifa yansal muhibbu dzikro habibin # wasmuhu fi fu’adihi maktubun.
(Bagaimana mungkin pecinta melupakan ingatannya kepada Sang Kekasih # sementara namanya sudah terpatri di dlm hatinya)
Tholabul habibi minal habibi ridlohu # wa munal habibi minal habibi liqohu. Abadan yulahidzuhu bi’ainai qolbih # wal qolbu ya’rifu robbahu wa yarohu.
(Pecinta hanya mencari ridlo kekasihnya # harapan pecinta hanya ingin bertemu dengan Kekasih.” Pecinta dgn kedua mata hatinya dpt melirik Sang Kekasih selama-lamanya # Hati dapat mengetahui dan melihat Sang Kekasih)
Yardlo al-habibu minal habibi bi qurbih # dunal bi’adi, fa man yuridu siwahu?
(Pecinta rela berdekatan dengan Kekasihnya # bukan berjauhan, siapa lg yg ia inginkan selain Kekasih?)
(Ceprudin/elsa-ol)