Eksklusivisme agama adalah sikap yang menganggap agama tertentu saja yang memiliki kebenaran sejati sedangkan agama-agama lainnya tidak. Akibatnya, penganut agama tersebut adalah manusia yang benar sedangkan penganut agama-agama lainnya tidak. Dengan demikian, tindakan kekerasan bahkan pemusnahan dapat dibenarkan terhadap yang lain itu. Dari sisi ini, dia bisa menjadi salah satu akar yang dapat menimbulkan berbagai sikap yang tidak toleran, sehingga perdamaian sulit dicapai. Hidup bersama secara damai sulit tercipta.
Rousseau mengatakan bahwa sikap seperti ini dimulai dalam sejarah manusia oleh Keyahudian dengan monoteisme dalam diri Yahwehnya. Ketika mereka ditawan oleh Babylonia, mereka menolak menyembah dewa lain selain Yahweh mereka sendiri, sehinga muncullah pertama kali dalam sejarah perang agama, perang antara dewa suatu bangsa dengan dewa bangsa lainnya. Dapat dipahami kalau sikap seperti ini muncul dari agama monoteisme. Akibat langsung dari monoteisme adalah penolakan adanya keberadaan dewa atau ilah lain selain ilah atau dewanya sendiri.
Kekristenan sebagai salah satu dari agama-agama Abrahamik, itu sendiri memiliki sisi yang eksklusif juga. Pandangan Gereja extra ecclesia nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) adalah contoh yang sangat nyata. Nampaknya hal serupa itu juga ada dalam agama Islam sebagai salah satu agama Abrahamik lainnya. Bukan hanya di kalangan para penganut agama-agama Abraham warisan itu terasa. Thomas Cahil sedemikian bangganya akan warisan itu, sehingga memasukkan ke dalam daftar ini bangsa-bangsa Barat dan non-Barat yang telah dipengaruhi oleh pandangan dunia keYahudian ini. Dalam batas-batas tertentu ada benarnya juga. Akan tetapi sayangnya, termasuk dalam hadiah itu adalah eksklusivisme ini. Karenanya eksklusvisme itu harus dikaji ulang.
Oleh karena itu ada baiknya pula akar eksklusivisme yang diwarisinya dilihat, yaitu eksklusivisme Yahudi yang untuk maksud analisis ini disebut Israel Alkitab. Dalam bagian ini, akan dilihat sejenak eksklusivisme yang dimiliki agama Yahudi yang “diwariskan” dalam wujud Alkitab Ibrani, yang Kekristenan menyebutnya Perjanjian lama.
Selengkapnya download e-Journal ELSA: Nomor 4 Volume 4 Januari 2018