Merespon Tantangan Baru: Dakwah dan Misi di Semarang 1894-1942

0
205

Menurut berbagai kajian yang pernah ada, abad ke-19 dalam konteks sejarah perkembangan agama di Indonesia ditandai oleh adanya dua fenomena menarik. Pertama, terjadinya revivalisme Islam di berberapa wilayah di Nusantara. Fenomena ini sesungguhnya menunjukkan kesadaran beragama masyarakat bumiputra yang semakin meningkat, sekaligus memperlihatkan reaksinya terhadap semakin meluasnya pengaruh kehidupan Barat. Sebagai bentuk tanggapan atas kondisi ini muncullah penentangan yang kuat, terutama dari para pemimpin agama. Kedua, pengintroduksian kembali agama Katolik setelah sempat dilarang oleh VOC. Di bawah kekuasaan VOC yang secara religius lebih dekat dengan tradisi Protestan terutama Calvinis, misi Katolik di kepulauan Indonesia secara resmi dilarang.

Misi Katolik di Indonesia memperoleh momentum penting bagi karyanya pada tanggal 8 Mei 1807, ketika Paus Pius VII atas persetujuan Louis Napoleon mendirikan Prefektur Apostolik Batavia dan mengangkat Jacobus Nelissen sebagai Prefek Apostolik pertama (1808-1817). Selanjutnya, pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia diangkat menjadi vikariat dan Mgr. Jacobus Grooff ditahbiskan menjadi Vikaris Apostolik pertama. Dengan demikian, pada abad ke-19 muncul dua arus besar dalam kehidupan keagamaan masyarakat kolonial, yaitu revivalisme Islam dan Katolik. Dua fenomena di atas terjadi di beberapa wilayah di Indonesia termasuk juga di Pulau Jawa.

Pada akhir abad ke-19, dan awal abad ke-20, sebagian besar Pulau Jawa dilanda gerakan revivalisme Islam. Fenomena ini terlihat dari berbagai fakta peningkatan jumlah orang Jawa yang naik haji, peningkatan volume pendidikan tradisional, pendirian cabang tarekat. Penelitian yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo, menyimpulkan bahwa di Jawa abad ke-19 terdapat tiga tarekat yang memiliki banyak pengikut, berturut-turut yaitu: Qodiriyyah, Naqsabandiyah, dan Syatariyyah. Disamping itu, terdapat pula kelompok tarekat lainnya yang lebih kecil, seperti Rahmanniyah dan Rifa’iyah.

Baca Juga  Kebudayaan Masyarakat Kota Semarang; Warak Ngendok Sebagai Simbol Akulturasi Dalam Tradisi Dugderan

Pembangunan sejumlah besar tempat ibadah juga menandai fenomea revivalisme Islam ini. Snouck Hurgronje melaporkan bahwa di tempat–tempat kedudukan pemerintahan yang penting, seperti ibukota kabupaten, terdapat masjid agung. Selain itu, di beberapa ibukota kawedanan, dijumpai masjid dengan ukuran lebih kecil. Hal ini dapat dihubungkan dengan banyaknya usulan pendirian masjid baru di beberapa wilayah di Jawa pada periode ini.

Kebangkitan kembali dakwah Islam yang melanda Jawa seperti yang telah diuraikan, muncul hampir bersamaan dengan perluasan karya misi di wilayah ini. Pada dekade pertama abad ke-19, misi Katolik mengijinkan pembukaan stasi di dua kota di Jawa, yaitu Semarang (tahun 1808) dan Surabaya (tahun 1810). Karya misi ini pada awalnya hanya memfokuskan kepada perawatan rohani orang-orang Eropa. Ekspansi misi bagi bumiputra baru dilakukan pada tahun 1894, ketika Julius Keijzer mulai mengajarkan Katolik kepada orang Jawa di Lamper Semarang.

 

Selengkapnya download e-Journal ELSA: Nomor 5 Volume 5 Januari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini