Demikian ditegaskan mantan Bupati Wonosobo, Kholiq Arif, sewaktu mengakhiri presentasi dalam acara sarasehan ‘Jaringan Aktor dan Kelompok Toleran Jawa Tengah tentang Perlindungan Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan’ di Kampoeng Percik, Desa Turusan, Kota Salatiga, Kamis (2/6/16) siang. Acara tersebut dihadiri kalangan aparat negara (pemerintah daerah, institusi penegak hukum), pegiat ormas agama, jurnalis, ormas kepemudaan, ormas perempuan serta organisasi pembela HAM dan kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jawa Tengah.
Dalam kesempatan itu, Kholiq bercerita ikhwal upaya membangun harmonisasi keberagaman agama dan memberi ruang bagi minoritas. Tak ketinggalan, kerja keras menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman di Wonosobo. Kholiq mengatakan, Kabupaten Wonosobo merupakan kota ramah HAM. Yakni, kota yang menjamin pemenuhan hak dasar masyarakatnya seperti pendidikan, lingkungan sehat, jaminan rasa aman dan fasilitas publik untuk kaum difabel, lansia dan anak. “Makanya, warga ditempatkan pada posisi terpenting dalam setiap proses pembangunan,” terangnya.
Meski demikian, pria kelahiran 16 September 1968, ini, menyebutkan bahwa warga merdeka yang dapat hidup layak dan bermartabat dalam sebuah daerah kabupaten atau kota harus ada. Caranya, sambung dia, perbaiki pelayanan publik yang lebih efektif, transparan dan akuntabel melalui konsep one roof local government. “Sehingga pemenuhan hak hidup layak dan berkelanjutan warga bebas beraktivitas tanpa ketakutan dan kekhawatiran kriminalitas,” bebernya.
Pembicara lain, Dir. Intelkam Polda Jawa Tengah, Kombes Pol. Yakobus Marjuki. Menurutnya, potensi konflik umat beragama biasanya muncul karena intern agama, antar agama serta antar agama dan pemerintah. “Namun, akar masalah adalah perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras umat beragama, perbedaan tingkat budaya serta masalah mayoritas dan minoritas umat beragama,” ujarnya.
Yakobus pun meminta kewajiban seseorang untuk senantiasa memelihara kondisi damai di masyarakat. Disampakain, dengan mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan ibadah sesuai kepercayaan, menghormati perbedaan suku, bahasa, adat istiadat orang lain bagian dari solusi. “Terpenting, mengakui dan memperlakukan manusia sesuai harkat martabatnya,” jelas dia.
Oleh sebab itu, dalam pemulihan pasca konflik, Yakobus menyarankan untuk melakukan pendekatan rekonsiliasi, rehabilitsi dan rekontruksi. “Baik perundingan damai, pemulihan psikologis korban, pemulihan akses pendidikan, kesehatan dan pekerjaan,” pungkasnya. [elsa-ol/@MunifIbnu/003]