
[Semarang – elsaonline.com] Ajaran atau pemahaman Islam yang berhaluan radikal mulai merambah ke sekolah. Pemahaman yang cenderung beraliran keras itu masuk melalui kegiatan- organisasi ektra sekolah. Pemahaman keagamaan yang mulai menyebar di lingkungan sekolah ini perlu diantisipasi sejak dini.
“Jaringan salafi yang cenderung radikal, sekarang mulai masuk ke sekolah-sekolah umum,” tutur salah satu guru PAI dari SMA Negeri 4 Semarang, Aunur Rofiq, saat mengikuti acara Focus Group Discussion (FGD) Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Minggu (16/2).
Dalam FGD yang berlangsung di Hotel Muria Jalan Dr Cipto Semarang ini, Rofiq menyampaikan gelagat masuknya pemahaman Islam radikal di sekolah. Di sekolah yang diampunya, ada beberapa siswa yang bergabung dengan kelompok Islam di luar sekolahnya.
“Siswa tersebut, mengikuti acara keagamaan di luar sekolah dengan mengatasnamakan rohis sekolah. Jaringan rohis di sekolah sudah sangat kuat. Mereka yang sudah bergabung di organisasi rohir, kemudian mengajak teman untuk mengikuti kegiata-kegiatan rohis di luar sekolah,” tambahnya.
Lambat laun, katanya, dari seorang anak itu kemudian membentuk organisasi yang berjejaring kuat di sekolah-sekolah. Dia menyampaikan, karena kegiatan yang diadakan di luar sekolah, maka guru kesulitan untuk mengantisipasinya. “Karena mereka itu kegiatannya di luar sekolah dan bukan jam sekolah. Jadi kami juga lumayan kesulitan untuk mengantisipasinya,” ujarnya.
Sulitnya mendeteksi gerakan Islam radikal di sekolah diakui juga oleh salah satu pengawas guru PAI di Kota Semarang, M Fauzin. Dia menceritakan pengalamannya selama menjadi pengawas guru PAI dan mata pelajaran agam Islam. Salah satu siswa di sekolah yang dia pantau, ada yang tidak mau hormat kepada bendera merah putih.
“Selama saya mantau di sekolah-sekolah, ternyata ada siswa yang enggen hormat bendera. Pemahaman semacam ini sedikit di antara siswa yang mengharamkan tahlilan dan peringatan maulid Nabi Muhammad. Kami betul prihatin, karena anak-anak usia SMA-SMK sudah meyakini ideologi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 45 dan Pancasila,” tuturnya.
Dia menambahkan, saat siswa tersebut ditanya alasannya kenapa tak mau hormat bendera, alasannya syirik (menyekutukan Allah). “Pemahaman seperti itu entah dari mana. Soalnya sekolah tak mengajarkan demikian. Setelah ditelisik, ternyata si anak tersebut mengikuti pengajian-pengajian di luar sekolah dengan mengatasnamakan rohis sekolah,” tambahnya.
Kearifan Lokal
Pada kesempatan yang sama, Direktur eLSA Tedi Kholiludin mengatakan, dalam kondisi sekolah demikian, peran guru PAI sangat dibutuhkan. Guru PAI, kata dia, harus bisa mengajarkan pelajaran agama yang toleransi dan saling menghargai antar agama dan keyakinan.
“Kita tidak melarang siapa pun untuk mengikuti organisasi apa pun. Kita bebas untuk berserikat dan berorganisasi. Namun yang menghawatirkan terjadi seperti kejadian yang dialami beberapa sekolah. Dimana terdapat beberapa siswa yang sudah berhaluan penolakan terhadap penghormatan bendera,” ucapnya.
Tedi menambahkan, yang harus dilakukan adalah pencegahan siswa dari pemahaman agama yang radikal dan cenderung lebih merasa benar sendiri. Jika siswa sudah dirasuki pemahaman kegamaan seperti itu, akibatnya akan menjelekan keyakinan kelompok lain.
Menurutnya, masa pertumbuhan usia SMA-SMK sangat krusial. Pasalnya, usia remaja bisa diisi dengan pemahaman keagamaan apa pun sesuai dengan yang mereka dapatkan di lapanga. Karena itu, penting kiranya untuk menyemaikan ajaran Islam yang moderat dan lebih kepada kearifan lokal.
”Siswa-siswa kita harus dikenalkan dengan ajaran-ajaran yang berbasis kearifan lokal, bahkan wajib. Pengenalan itu harus ditanamkan sejak masa usia dini sehingga bisa menyasar ke siswa-siswa SMA. Sangat penting, siswa-siswa kita diajarkan budaya Jawa yang sejatinya tak bertentangan dengan agam,” tandasnya. [elsa-ol/Ceprudin