[Medan-elsaonline.com] Koordinator SOBAT KBB, Pendeta Palti Panjaitan menuturkan bahwa tujuan dari program SOBAT KBB adalah gerakan bersama untuk merebut hak-hak korban untuk memperoleh Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Salah satu program yang sudah dilakukan SOBAT KBB adalah Tehnical Assesment yang dilakukan di Aula Ahmadiyah, Medan, Sumatra Utara, Kamis (16/10).
Palti mengatakan, bahwa tujuan dari Tehnical Assesment itu adalah menggali tentang kebebasan beragama dan berkepercayaan di wilayah yang menjadi sasaran SOBAT KBB.
“Jadi SOBAT KBB ini adalah korban yang berjuang tidak mengharapkan bantuan orang lain. Korban yang diperdayakan dan merebut hak-hak nya, jadi marilah kita sama-sama berjuang, SOBAT KBB bukan LSM, tapi gerakan bersama untuk merebut hak-hak kita sebagai korban KBB,” terangnya saat membuka acara Tehnical Assesment.
Dari diskusi yang digelar sekitar dua jam tersebut menghadirkan peserta dari penganut kepercayaan dan beberapa agama yang ada di Medan. Ada Ahamdiyah, Ugamo Bangso Batak (UBB), Permalin, Katolik, Kristen, Aliansi Nasional Bineka Tunggal Ika (ANBTI) dan Muslim.
Sebagian dari peserta pernah mengalami diskriminasi, seperti Ahmadiyah. Diskriminasi yang dialami bermacam-macam, diceritakan tokoh Ahmadiyah yang berkesempatan hadir, Habib, menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami pengusiran saat tugas di Sosa, Riau.
“Disana (Riau) saya pernah hampir diusir dan dipaksa tanda tangan. Pengusiran itu tidak sampai terjadi karena saya dipanggil di kecamatan, dan ada secarik kertas. Jadi ketika ada orang yang baca kertas itu mereka pergi. Bahkan pernah juga masjid Ahamdiyah di bakar, meskipun itu tidak sampai habis,”tuturnya.
Diceritakan penganut agama Ahmadiyah yang lain, Prisa, bahwa adiknya saat belajar di sekolah sering dijelek-jelekkan oleh guru karena menganut ajaran Ahmadiyah. Akibat ejekan tersebut, murid-murid yang lain jadi menjauhinya.
“Pengalaman dari adik saya yaitu adik saya sering cerita bahwa gurunya sering menjelek-jelekan Ahamdiyah. Memang adik saya tahu bahwa apa yang dibilang guru itu salah tapi memang dia belum berani berbicara,” cerita Prisa.
Semetara itu, penganut Ahmadiyah yang lain, Nita juga pernah mengalami diskriminasi. Masjid yang digunakan Nita untuk beribadah terpaksa dihancurkan oleh orang yang tidak betanggung jawab.
“ Saya punya pengalaman masjid kami dihancurkan, dan pernah teman-teman saya tahu saya Ahmadiyah, sikap mereka langsung berbeda,” tuturnya. .[elsa-ol/@AbdusSalamPutra-Salam/003]