Oleh: Tedi Kholiludin
Bersama Meiga dan anak-anak, Minggu (17/4), saya menuju sebuah kawasan di Kota Semarang yang dikenal sebagai tempat service serta jual-beli suku cadang mobil, motor serta sepeda. Kebetulan sepeda Najma yang dibelikan oleh Eyangnya hendak diperbaiki dan diambil roda kanan-kirinya. Ia merasa sudah besar dan lancar dengan dua roda. Agak lama ia meminta sepedanya diperbaiki, namun, baru hari itu saya bisa memenuhinya.
Sebenarnya, ada tempat untuk memperbaiki sepeda di area dekat rumah. Hanya saja, mumpung ada waktu luang, saya menyengaja untuk berjalan ke tempat yang agak jauh, menghabiskan waktu untuk anak-anak, karena biasanya hari Minggu ada jadwal mengajar di kampus.
Sekira 3-4 kilometer jelang sampai di tempat tujuan, saya baru teringat kalau pedagang-pedagang yang awalnya ada di bantaran sungai timur tersebut, sudah berpindah tempat, karena pemerintah melakukan normalisasi di kawasan itu. Kebijakan itu dikeluarkan untuk mengurangi potensi banjir. Kurang lebih 7000an lapak pedagang berpindah tempat.
Karena sudah terlanjur jalan, saya tetap meneruskan perjalanan. Harapannya ada sisa-sisa dari mereka yang masih bisa diakses. Perkiraan saya benar. Ada satu dan mungkin satu-satunya bengkel sepeda yang buka siang itu. Segera saya turunkan sepeda Najma dan dalam waktu yang tidak lama, roda-roda pembantu di ban belakang sudah dilucuti plus menambah standar di sebelah kiri agar sepeda mendapat tumpuan saat tak digunakan.
Sembari menunggu selesai diperbaiki, saya mengajak laki-laki paruh baya yang menangani sepeda Najma bercakap-cakap. Utamanya, tentu saja tentang kondisi terkini dari kehidupan bantaran sungai pasca berpindahnya para pelapak.
Ia mengaku sedikit yang beruntung, karena kebetulan punya dua kios; satu tempat yang turut rombongan pelapak lain, berpindah ke tempat baru dan satu lagi, yang ditempatinya sekarang. “Jadi saya masih bisa menjaga pelanggan disini, mas,” terangnya. Saya tak bertanya tentang bagaimana kondisi di tempat yang baru. Karena, secara hipotetis, hampir bisa dipastikan terasa sepi di awal-awal perpindahan.
“Saya pernah mencoba online, mas,” katanya melanjutkan kisah. Saya agak mengernyitkan dahi. “Bagaimana memperbaiki sepeda secara online?” saya membatin. “Maksudnya, pak?” saya bertanya langsung ketimbang salah persepsi. “Saya terima jasa service panggilan. Dari rumah ke rumah. Tapi ternyata tidak seimbang dengan biaya di perjalanan. Habis buat ongkos saja,” menjelaskan sekaligus mengeluh atas kondisi tersebut.
Tak lama setelah berkisah, sepeda Najma sudah siap digunakan. Saya membayar sekian puluh ribu sebagai jasa dan membeli standar sepeda.
Agar menghilangkan penasaran, saya menyusuri bantaran sungai; dari ujung selatan hingga hampir ujung utara. Betul, suasana berbeda dari biasanya. Tertata rapi, tanpa pelapak, dengan atmosfer transaksi yang nyaris mendekati sepi.
Para pedagang yang berpindah tempat, mau tidak mau, harus beradaptasi dengan situasi baru. Hal yang mengharuskan mereka mencari cara bagaimana menarik pelanggan lama ke tempat baru yang bagi sebagian besar konsumen, dengan terpaksa harus menambah jarak perjalanan kurang lebih 10 kilometer.
***
Ketika terjadi perubahan iklim, seluruh ekosistem baik di darat, laut maupun burung-burung di udara mengalami gangguan. Mereka mesti melakukan penyesuaian lingkungan, makanan hingga cuaca. Kegagalan hewan dalam melakukan adaptasi misalnya, akan menyebabkan kepunahan, betapapun mungkin mereka adalah spesies yang dilindungi.
Jika rantai makanan tidak bisa berjalan karena kegagalan dalam proses adaptasi, maka hewan pemakan tumbuhan atau buah-buahan tidak bisa melakukan konsumsi. Bagaimana mungkin ketersediaan pangan bisa terjaga sementara penyerbukan mengalami kegagalan karena perubahan iklim.
Menghadapi situasi demikian, hewan dan juga tumbuhan, melakukan penyesuaian secara morfologis. Mereka beradaptasi dengan menyesuaikan bentuk tubuh agar selaras dengan lingkungannya. Kaktus, sebagai tumbuhan xerofit (jenis tanaman yang hidup di daerah kering), melakukan adaptasi morfologi melalui duri yang ada di sekujur tubuhnya. Duri itu dijadikan sebagai penahan persediaan air agar tidak menguap ketika terkena sinar matahari.
Penyesuaian juga terjadi secara fisiologis, dimana fungsi kerja makhluk hidup mengalami proses adaptasi. Kita bisa merasakan bagaimana fungsi pupil mata akan membesar dan mengecil tergantung intensitas cahaya yang diterima. Kalau cahanya sedikit, pupil mata melebar, sementara jika cahayanya cukup pupil akan mengecil.
Selain secara morfologis dan fisiologis, makhluk hidup, terutama hewan, juga menyesuaikan perilaku ketika menghadapi perubahan iklim atau cuaca. Misalnya hewan-hewan yang melakukan hibernasi. Ketika musim dingin datang, mereka menghemat energi dengan cara tidur, mengingat sulitnya mencari makan. Kura-kura, beruang, melakukan hibernasi ketika cuaca dingin melanda.
Meski tidak mudah, pada gilirannya, setiap makhluk hidup akan dihadapkan pada situasi dimana mereka mesti bertahan, survive. Dalam “The Origin of Species,” Charles Darwin telah mengingatkan bahwa spesies mengalami evolusi secara generatif melalui seleksi alam. Proses evolusi itu adalah cara makhluk hidup beradaptasi, sehingga memungkinkan mereka untuk bertahan. Jadi, keberhasilan untuk bertahan bukan karena bentuk spesiesnya besar, melainkan karena mereka mampu beradaptasi terhadap perubahan. Mudah? Bisa iya, bisa tidak.