Politik di Era “Post-Truth”

Oleh: Tedi Kholiludin

Tahun 2016, Kamus Oxford yang dibuat oleh Universitas Oxford, menjadikan “post-truth” sebagai “Istilah Tahun Ini” atau “Word of the Year.” Post-truth (pasca-kebenaran), dalam kamus Oxford merupakan kata sifat yang “berkaitan atau menunjukkan sebuah keadaan dimana fakta-fakta objektif tidak terlalu berpengaruh dalam membangun opini publik dibandingkan dengan perasaan atau keyakinan personal.”

Meski sudah berkembang selama satu dekade terakhir, tetapi frekuensi kenaikan penggunaan “post-truth,” relatif meningkat pada tahun 2016. Tentu saja ada situasi yang menjadi pemicu naiknya hal tersebut. Dua diantaranya adalah Uni Eropa dengan ditandai keluarnya Inggris (lazim dikenal Brexit, British Exit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Tentu banyak pertanyaan mengemuka soal hubungan antara post-truth dengan Donald Trump.

Sebagai kata sifat, “post-truth” kemudian dihubungkan dengan kata benda “politik.” Istilah ini kurang lebih mengandung terminologi mengenai dinamika politik yang sudah tidak lagi dibangun diatas fondasi fakta dan kebenaran. Fakta tentang ketidakberpihakan Trump terhadap imigran, sikap politiknya yang dinilai rasis, ternyata tidak sebangun dengan kenyataan bahwa suaranya lebih besar ketimbang Hillary Clinton.

“Post-truth” berbeda dengan hoax juga berita palsu. “Post truth” adalah tentang sikap “merasa benar” tanpa didukung dengan bukti atau fakta. Meski sudah ada fakta yang sahih untuk sebuah argumentasi, namun hal tersebut tidak kemudian seseorang bergeming dari apa yang menurutnya benar.

Meski frekuensi penggunaan “post-truth” itu ditemukan dalam dinamika politik Amerika (juga Eropa), namun apa yang terjadi di beberapa bagian wilayah Indonesia sedang menunjukkan gejala kearah tersebut. Fragmentasi media yang menjadi sumber informasi kerapkali menyebabkan dengan cepatnya sebaran berita-berita yang belum tentu benar. Kasus pembakaran markas sebuah organisasi masyarakat di Bogor misalnya, dipicu karena berita yang tidak bertanggungjawab.

Baca Juga  Tentang AI dan demokrasi: Bagaimana AI dapat Memengaruhi Demokrasi?

Momen pemilihan kepala daerah (terutama di Jakarta) juga setali tiga uang. Banyak kelompok masyarakat yang mendasarkan pilihannya pada emosi dan “keyakinan,” bukan fakta. Mereka cenderung untuk mencari sumber berita yang sesuai dengan selera elektoralnya. Proses berpikir menjadi terbalik, bukan tunduk pada fakta, tetapi mengkreasi sesuatu yang kemudian disebut sebagai (seolah-olah) fakta. Basisnya bukanlah fakta itu sendiri, melainkan keyakinan personal.

Bagi negara demokrasi, era “pasca-kebenaran” potensial menjadi kerikil. Roda demokrasi akan banyak menemukan ganjalan karena proses kontrol tidak disandarkan pada basis data yang akurat. Mobilisasi masa menjadi lebih mudah dilakukan karenanya. Plus, dikuatkan dengan legitimasi moral dan agama.

Meski manusia absah melakukan kesalahan, tetapi menutup mata terhadap kondisi objektif adalah sebuah langkah untuk menyengaja salah. Perlu kesalahan berikutnya untuk menutupi kesalahan pertama hingga kemudian menganggapnya sebagai kebenaran.

Keadilan Substansial

Menyandarkan sebuah pilihan atas dasar kalkulasi moral atau keyakinan tertentu adalah suatu yang absah dalam masyarakat demokrasi. Pun terhadap sumber yang berasal dari tradisi. Catatannya, sumber-sumber tersebut harus siap diuji dan dihadirkan dalam sebuah diskusi dan debat terbuka.

Disinilah pentingnya untuk menghadirkan “nalar publik” serta “pengalaman kemanusiaan” yang menjadi filter terhadap sumber-sumber elektoral. Keduanya akan sangat menentukan apakah keyakinan keagamaan yang diajukan sebagai inspirasi pilihan-pilihan politik itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan atau tidak.

Agama merupakan formasi budaya dimana pertanyaan komprehensif diajukan dan dijawab. Persoalan tentang masalah-masalah dunia dan akhirat ada jawabannya dalam agama. Ini yang membedakannya dengan politik. Jika politik dibatasi oleh pertanyaan-pertanyaan parsial, maka agama menjawab semua persoalan.

Karena konstitusi bersifat manusiawi, maka ia tentu tidak dimaksudkan untuk menjawab semua persoalan kehidupan manusia. Konstitusi adalah pernyataan tentang apa yang harus dilakukan oleh negara dan aparatusnya. Konsekuensinya, konstitusi ini tidak boleh menunjukan keberpihakan pada salah satu kelompok agama tertentu. Konstitusi harus netral dari klaim keagamaan.

Baca Juga  Damai Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

Produk atau aturan negara bisa saja tidak diterima oleh kelompok keagamaan tertentu. Setelah melewati sebuah prosedur formal misalnya, ketentuan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan sebuah kelompok keyakinan keagamaan. Disinilah terjadi tarik menarik antara keadilan yang bersifat prosedural dengan keadilan substansial.

Dalam wacana demokrasi, keadilan prosedural memang mendapatkan tempat yang penting. Perumusan sebuah aturan sangat berkaitan dengan bagaiman prosedur konstitusional itu telah ditempuh.

Meski begitu, bukan berarti keadilan seperti ini mengenyampingkan keadilan substansial. Ada “akal sehat” dan “pengalaman kemanusiaan” yang mengendalikan keadilan prosedural itu. Pertimbangan tentang keadilan substansial dan prosedural ini yang bisa menjadi ukuran dalam menakar segala produk perundangan di sebuah negara.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini