Ulil dan Liberalisme yang Saleh

0
1192
Ulil Abshar-Abdalla (kanan) sedang menjelaskan dengan serius gagasannya tentang pious liberalism. [Foto: Ienas Tsuroiya]

Oleh: Tedi Kholiludin

Seperti biasa, setiap kali mampir di Semarang, Mas Ulil Abshar-Abdalla mengajak saya sekeluarga menemaninya sarapan pagi sebelum siangnya ia dan Mbak Ienas kembali ke Jakarta sepulang “berjihad” di Karimunjawa, Jepara. Jika saya mengajak Khoirul Anwar, maka Mas Ulil akan berbicara banyak tentang khazanah Islam klasik. Karena hari itu saya tak bersamanya (Khoirul Anwar sedang mengurusi rencana pernikahannya), Mas Ulil pun lebih banyak bicara soal tema-tema yang bersambung dengan keilmuan saya, agama dan masyarakat.

Ide besar tulisan ini adalah kerangka berpikir Mas Ulil. Saya hanya merangkainya dan menambah bumbu penyedap saja jika memang benar-benar diperlukan. Dalam kesempatan itu, ada tiga bahasan yang saya cermati; Pesantren, Wahabisme dan Pious Liberalism.

Mula-mula, Mas Ulil bercerirta tentang pesantren. Bukan dalam konteks tempat pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Juga tidak sedang membahas pesantren sebagai tempat memupuk kemandirian. Pesantren, oleh Ulil dilihat sebagai institusi yang sangat berperan penting menjaga atau melestarikan kemampuan berbahasa. Bahasa Arab tepatnya. Bahasan tentang struktur dan gramatika Bahasa Arab begitu detail dipelajari. Dan, Bahasa Arab yang dipelajari juga bukan sekadar bahasa percakapan sehari-hari atau bahasa prokem-nya, tapi bahasa yang betul-betul sesuai pakem.

Peran pesantren sebagai institusi pelestari pengajaran Bahasa Arab, mungkin selevel dengan beberapa Seminari Katolik yang juga melestarikan pengajaran Bahasa Latin sebagai bahasa resmi Gereja Katolik Roma. Di luar itu, sepertinya agak sulit mencari lembaga yang memiliki konsen dalam upaya-upaya pelestarian tersebut.

Ulil beranjak membahas soal lain; Wahabisme. Ia memahami bahwa ide purifikasi yang diusung kelompok Wahabi itu tidak bisa diterapkan di Indonesia. Wahabisme, baik doktrin maupun akidahnya, adalah sesuatu yang sangat familiar bagi Ulil. Jadi ketika ia menyatakan ketidaksetujuan terhadap ideologi tersebut, sudah barang pasti pemikiran itu sudah melewati saringan yang sangat tipis.

Baca Juga  Paroki

Tapi Ulil rupanya memiliki cara pandang yang berbeda tentang bagaimana seharusnya memperlakukan pengikut kelompok ini. Alumnus LIPIA itu tidak setuju jika Wahabisme kemudian dipukul mundur secara fisik atau dihilangkan. Biarkan mereka ada, tetapi tidak eksis. Begitu kira-kira tafsiran saya terhadap gagasannya Ulil soal Wahabisme. Wahabisme dibiarkan ada, tetapi perkembangannya dibatasi hanya pada keluarga terdekat mereka saja.

Kelompok Wahabisme juga harus diingatkan tentang cara pandang yang mereka bangun selama ini kaitannya terhadap eksistensi kelompok di luar mereka. Kelompok Wahabi yang sangat eksklusif, kita tahu, begitu mudah menjatuhkan vonis sesat dan kafir kepada mereka yang tidak dianggap sama. Dan, kerapkali ada paksaan bagi orang lain untuk memiliki perspektif seperti mereka.

Bagi Ulil, dua cara pandang ekstrem, sama-sama harus dihindari. Mereka yang anti wahabi dan hendak menghilangkan kelompok ini dari peredaran bumi harus diingatkan, dan hal yang sama juga harus dilakukan kepada kelompok Wahabi yang kerap memaksakan kehendak. Ulil meyakini bahwa gagasan Wahabi yang cenderung purifikatif, sejatinya bertentangan dengan jiwa zaman masyarakat Indonesia yang cenderung akomodatif terhadap pelbagai kebudayaan.

Bagian ketiga dan mendapatkan porsi banyak dalam perbincangan pagi itu adalah tentang liberalisme dan keterbatasannya. Ulil mengakui bahwa ada banyak nilai dari ideologi liberal yang masih sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Menjunjung tinggi penghargaan terhadap latar belakang agama dan budaya yang beragam adalah salah satunya.

Namun, Ulil merasa belum puas dengan liberalisme karena dua tema; hak-hak kolektif dan tradisi. Baginya, sejarah sebuah bangsa sangat penting untuk diperhatikan. Praktik sekularisme di barat, baginya, perlu difilter jika akan diterapkan di Indonesia.

Di beberapa negara, baik barat maupun timur (Asia Timur terutama), ada beberapa kesamaan cara pandang soal agama. Salah satunya, semakin bertumbuhnya Ateisme. Tapi, meski sama-sama tidak terlampau peduli terhadap urusan agama, sikap terhadap Islam cenderung agak sedikit berbeda.

Baca Juga  Seorang DI, Tewas Ditangan Adik Sendiri

Ulil menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Korea Selatan. Penduduk Negeri Ginseng itu sebagian besar tidak terafiliasi kepada agama-agama institusional. Bahkan bisa dikatakan mereka adalah orang-orang yang tak peduli agama atau tak percaya Tuhan. Namun, tak ada tendensi ketakutan mereka terhadap Islam. Keadaan sebaliknya terjadi di Eropa. Meski sama-sama ateis, tapi ada kesan kuat ketakutan yang besar terhadap Islam. Ini yang dimaksud Ulil sebagai sejarah sebuah bangsa itu. Korea Selatan tidak memiliki pengalaman traumatik karena soal agama laiknya masyarakat Eropa.

Perbedaan latar belakang sejarah ini yang kemudian berimbas pada bagaimana sebuah masyarakat mengekspresikan identitas kolektifnya. Termasuk didalamnya manifestasi simbol agama di ruang publik.

Ulil menyampaikan hal yang menurut saya agak menggelitik. Baginya, tidak ada persoalan dan sama sekali tak ada pelanggaran HAM, ketika di ruas jalan sebuah kota dipampang plang bertuliskan 99 nama Allah (Asmaul Husna). Begitu juga, jika ada patung Yesus berdiri tegak di ruang publik, hal itu juga bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Dalam kasus seperti ini, liberalisme, kritik Ulil, memiliki keterbatasan dalam pengakuan terhadap hak-hak kolektif yang juga bertaut dengan sejarah sebuah masyarakat.

Karenanya, Ulil mengajukan sebuah pikiran jalan tengah. Dengan agak kelakar, ia menyebutnya sebagai “pious liberalism”, liberalisme yang saleh. Sebagai manusia beragama, maka adalah hal yang mutlak untuk menjadi seorang yang saleh; saleh ritual dan saleh individual, juga saleh sosial. Manusia yang taat terhadap ajaran dan tradisi keagamaannya. Tapi bersamaan dengan itu, manusia yang saleh ini juga menyerap nilai-nilai liberal; inklusivitas, ekualitas dan penghargaan terhadap kemajemukan. Seorang agamawan yang tak lagi melabeli yang lain dengan cap syirik, kafir, bid’ah dan lain sebagainya.

Baca Juga  Karena Penghayat, Sulit Promosi Jabatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini