Oleh: Tedi Kholiludin
Indonesia itu merupakan negara religius dengan politik sekuler (religious state with secular politics). Ini tentu sangat bertaut dengan percakapan dalam soal relasi antara negara dengan politik. Biasanya hubungan itu kerap didasarkan atas objek politik/negara dengan agama.
Dengan kata lain, bagaimana hubungan agama dan politik/negara apakah menyatu, berpisah atau saling mengisi. Tapi, saya ingin gambarkan relasi yang spesifik antara karakter negara dengan sifat politik. Masing-masing tetap akan dilandasi apakah salah satu dari keduanya bersifat religius atau sekuler.
Relasi mengenai tipologi politik dan negara itu diamati secara cerdas dan menarik oleh N.J. Demerath IIII (2001). Demerath mengamati perkembangan dinamika negara, politik dan agama itu di beberapa wilayah diantaranya Amerika Serikat, Guatemala, Brazil, Irlandia Utara, Swedia, Mesir, Israel, Turki, Pakistan, India, Indonesia, Thailand, China dan Jepang.
Temuan Demerath itulah dasar konseptual dari gambaran negara kita yang saya sebut sebagai negara religius dengan politik sekuler itu.
Empat Tipe
Ada empat tipologi mengenai agama, negara dan politik menurut Demerath. Pertama, adalah negara religius dengan politik yang religius pula (religious state with religious politics). Italia atau tepatnya Vatikan dengan Katolikismenya adalah negara yang mempraktekan model ini. Selain itu Irlandia Utara juga bisa dikatakan ada dalam kategori ini. Secara de jure dan de facto, dalam term Protestantisme, Irlandia adalah negara religius yang juga religius dalam bidang politik.
Tipe kedua, negara sekuler dengan politik sekuler (secular states with secular politics). Karakter ini seperti oposisi terhadap model pertama. Bentuk ini hampir kebanyakan dianut oleh Negara-negara di Barat. Saya kira, hal ini tidak bisa dilepaskan dari semangat reformasi yang kemudian mendorong Negara-negara Barat melakukan semacam “desakralisasi” negara. Di Jerman dan Perancis, meski ada ”Christian Democratic Parties” tetapi, sesungguhnya pola kehidupan yang mereka tanamkan didasari oleh sekularisme.
Di belahan Asia, China barangkali negara yang dengan sangat ketat mempraktekkan sistem ini. Turki juga bisa dikatakan sebagai “negara muslim” yang mewakili karakter ini. Pada prakteknya kepemimpinan yang dijalankan oleh pemerintahan Turki kerap menjadi jembatan untuk menyambungkan dunia Barat dan Timur.
Tipe ketiga yaitu negara sekuler dan politik religius (secular states and religious politics). Gambaran tepat untuk negara yang mempraktekkan model ini barangkali agak sulit. Tetapi Demerath menyebut India, sebagai salah satu negara yang ada di jalur ini.
Keempat negara religius dengan poltik sekuler (religious state with secular politics). Demerath menyebut Thailand, Pakistan dan negara-negara di Amerika Latin yang menyebut secara formal doktrin kenegaraan yang disandarkan atas satu keyakinan tertentu. Thailand, sangat bisa kita mengerti mengapa mereka ada di wilayah ini. Dinamika politik yang paling anyar di negara Gajah Putih ini sangat kuat mengindikasikan kalau ”negara agama” itu sangat sekuler dalam politik. Indonesia ada di kelompok ini.
Pertanyaan saya sederhana. Kalau Indonesia masuk dalam rumpun negara yang religius dengan politik sekuler, apa yang dimaksud dengan negara religius itu? Apakah religiusitas Indonesia bisa disamakan dengan Thailand dan Pakistan yang simbolik dan triumphalistik?
Kalaulah kita bersepakat bahwa negara ini adalah religius, maka timbangan religiusitas itu tidak bisa dilihat dari sudut yang sangat sempit. Semangat religiusitas itu tidaklah dilambangkan dengan idiom-idiom keagamaan yang simbolik dan hanya mewakili satu identitas kelompok saja.
Paling tidak itulah dasar konstitusional yang kita miliki. Disitulah ada identitas kolektif yang memiliki makna dan berfungsi sistem pengganti dari jati diri primordial. Dalam pengertian demikian, bisa dikatakan bahwa Indonesia bukanlah sekuler. Karena sesungguhnya pemisahan negara dan agama has no constitutional standing, alias tidak ada topangan konstitusionalnya.
Dengan begitu maka bisa dimengerti jika Demerath mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara religius. Atau meminjam judul bukunya Sidney E. Mead (1975) kita adalah the nation with the soul of a church. Hanya saja religiusitas ini perlu diberi catatan agar tidak jatuh sama dengan religiusnya Pakistan atau Thailand. Sementara untuk soal politik yang sekuler, saya kira begitulah referensi faktualnya.
Saya teringat dengan tulisannya Xiaheng Sherry Xie (2007), Civil Religion in Ungodly China. Memang Xie tidak membeberkan soal relasi antara agama, negara dan politik. Namun, ada satu hal yang cukup mengagumkan dalam bahasan itu. Xie mengatakan kalau di tengah krisis moral dan identitas di China, ada tiga komponen yang bisa menjadi jembatan menuju perkembangan diskursus agama sipil yakni Konfusianisme, Buddhism dan restoration of national pride.
Jika China bisa melakukan itu dengan modal yang mereka miliki, maka Indonesia punya banyak modal yang memungkinkan wacana itu bisa teraktualisasi. Disini, saya ingin menyebut apa yang dikenal sebagai natural religion. Jadi dengan berbagai ragam identitas kesukuan dan keagamaan yang dimiliki bangsa Indonesia, selalu ada warna ”Indonesia” yang mengakar di balik identitas kesukuan dan keagamaan itu. Simak kembali studinya Clifford Geertz, Niels Mulder, Bennedict Anderson tentang keindonesiaan. Atau buka eksplorasi memikat tentang Nahdlatul Ulama (NU) dari Martin van Bruinessen dan Andree Feillard. Itulah salah satu faktor yang mendasari jiwa bangsa Indonesia. Ada karakter dasar yang melandasi semangat kita untuk beragama, berbangsa dan bernegara.