Perdamaian: Sebuah Renungan Natal

Oleh: Pdt. Rudiyanto

Pengajar di STT Abdiel Ungaran

Perdamaian. Shalom. Kata-kata yang indah. Siapa yang tak suka? Tapi kenyataan “perdamaian” sering tak seindah istilahnya.

Pdt. Rudiyanto
Pdt. Rudiyanto

Betapa tidak! Coba saja, dalam begitu banyak kasus, perdamaian adalah soal kekuasaan. Dalam suatu konflik, lebih-lebih yang menyangkut kepentingan ekonomi-politik, perdamaian ada dalam genggaman pihak yang paling kuat dan/atau yang keluar sebagai pemenang. Dia berhak karena menang dan berkuasa. Dia menetapkan macam mana perdamaian yang harus diberlakukan. Dia juga memaksakan syarat-syarat perdamaian untuk ditaati oleh pihak yang lebih lemah dan/atau yang kalah. Kehadiran pihak ketiga sebagai penengah tidak jarang terkooptasi oleh kepentingan si kuat pemenang.

Perdamaian yang melestarikan penindasan, penghisapan, dan pemarjinalan si kuat terhadap si lemah! Perdamaian yang di satu meninggikan derajat kaum kuat jayawijaya dan membenamkan si kalah dalam kehinaan kaum pecundang!

Persis itulah kiranya yang dilihat Yesaya. Berkat keperkasaan militer yang memberinya kemenangan demi kemenangan, Raja Asyur Tiglath-Pileser berhasil memaksakan perdamaian kepada Negara Israel. Ya, tahun itu, 732 SM, Negara Aram sudah porak poranda dan Negara Israel terkepung setelah Asyur menggunting Lembah Sharon, Galilea, dan Gad! Tiglath-Pileser memaksakan perdamaian kepada Pekah bin Remalya yang sudah tak berdaya. Perdamaian berarti penaklukan, perdamaian berarti penjajahan, perdamaian berarti upeti, perdamaian berarti deportasi, perdamaian berarti terinjak-injaknya harkat dan martabat…

Yehuda kelihatannya lebih baik. Tak usah Negara kecil itu tenggelam di sungai darah seperti yang dialami dua Negara tetangganya. Realpolitik Ahas telah menghindarkan Negara itu dari mahabencana. Tapi toh mereka juga harus menerima syarat-syarat yang didiktekan Asyur! Tengok, Yehuda menjadi jajahan Asyur, membayar upeti (dari hasil memeras rakyat), dan menyembah para dewa Asyur! Sebelas dua belas, setali tiga uang. Mereka “menikmati” perdamaian sembari menghirup udara penindasan di dalam kerangkeng raksasa penjajahan!

Baca Juga  Julia Ward Howe dan “Hari Ibu”

Sesungguhnya, raja Asyur telah menjadi “raja damai” (penguasa perdamaian, sar-shâlôm) bagi Israel dan kemudian Yehuda. Ya, sebagaimana layaknya penguasa perang yang berkuasa memberlakukan perdamaian di ujung mata pedang atau sepatu lars dan laras senapan!

Tapi, lagi, kelahiran anak laki-laki yang dinamai Imanuel (7.14; 8., membangkitkan harapan Yesaya. Yahweh akan datang sebagai sar-shâlôm, Raja Damai/Penguasa Perdamaian. Asyur, yang tak lebih dari sekadar alat di tangan-Nya untuk menghajar umat-Nya (10.6, 15), tidak akan lama jumawa adigang-adigung-adiguna. Yahweh akan menjungkirbalikkan Asyur dan menegakkan perdamaian bagi umat-Nya. Perdamaian tanpa penindasan, penghisapan, dan pemarjinalan! Perdamaian yang memulihkan harkat dan martabat bangsa yang diinjak-injak! Perdamaian yang lahir dari pembebasan dan bersendikan keadilan – bagi kaum yang miskin, lemah, dan terhina!

Gereja mengimani Yesus Kristus sebagai Raja Damai/Penguasa Perdamaian. Dialah Jalan Perdamaian, yang memulihkan hubungan manusia – yang dirusak oleh dosa – dengan Allah (Rom 3.25). Dialah “perdamaian kita” (Ef 2.14), yang mempersatukan orang Yahudi dan orang “Kafir” menjadi Keluarga Allah (Ef 2.19).

Itu benar. Tapi kita tidak boleh berhenti di situ. Masih ada struktur-struktur yang merintangi manusia untuk hidup dalam perdamaian yang sesungguhnya. Kapitalisme, yang berpuncak pada imperialisme, serta beranak-pinak rasisme, bencana ekologis, komodifikasi seksualitas (baik dalam bentuk iklan, prostitusi, maupun pornografi), pelanggengan patriarki, dan kekerasan-kekerasan agamawi dan rasial, adalah tatanan yang memaksakan perdamaian semu – yang buah manisnya dinikmati oleh segelintir orang dan ampas beracunnya terpaksa ditelan oleh sebagian terbesar umat manusia. Rakyat pekerja!

Bila kita yakin Yesus Kristus adalah Raja Damai/Penguasa Perdamaian, tidakkah kita yakin bahwa Ia berdiri di pihak kaum yang tertindas, terhisap, dan terpinggirkan, serta membela perjuangan untuk mengakhiri struktur-struktur yang tidak adil yang memaksakan perdamaian semu di muka bumi?

Baca Juga  Perempuan di Lembaga Pembuat Keputusan
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini