Oleh: Ceprudin
Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Dra Muzayanah Bisri, MPd, pada rubrik “Wacana” koran Suara Merdeka dengan judul “Pendidikan Agama untuk Penghayat,” Edisi Selasa, (13/9/2016). Pada alenia terakhir, kalimat pertama Muzayanah menulis “tidak ada pendidikan untuk penghayat kepercayaan, karena mereka hanyalah sub dari sebuah agama”.
Penulis menilai, kalimat di atas kurang tepat. Pasalanya, penghayat kepercayaan oleh beberapa peneliti justru dikatakan sebagai sebagai “Agama Asli” Indonesia. Salah satu peneliti yang mengkaji penghayat kepercayaan adalah Rachmat Subagya dalam bukunya “Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia”.
Rachmat Subagya Rachmat Subagya adalah ahli sejarah yang mampu memahami bahasa Inggris, Arab, Urdu, dan Turki. Ia menegaskan bahwa Penghayat Kepercayaan ada sebelum agama-agama datang di Nusantara. Jauh sebelum enam agama yang “diakui” (recognize) negara berkembang di Indonesia, Penghayat Kepercayaan sudah tumbuh dan berkembang.
Hasil penelitian Rachmat Subagya menyatakan penganut Agama Asli mengalami penurunan ketika agama-agama “impor” datang dari luar (Nusantara). Karena itu, Agama Asli sepanjang sejarah berulang kali mengalami krisis eksistensi. (Rachmat Subagya: 1979, h. 187)
Para Penganut Kepercayaan semakin terkikis sejak adanya beberapa peraturan pemerintah berkenaan dengan agama. UU No 1 PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama menjadi faktor utama yang membuat Penganut Kepercayaan semakin memudar. Pengaturan ini juga membuat Kepercayaan dikategorikan sebagai budaya atau tradisi, bukan sebagai agama.
Hasil penelitian lapangan Dr Tedi Kholiludin dalam “Laporan Tahunan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang Tahun 2015 juga memaparkan bahwa Kepercayaan berdiri sendiri bukan bagian dari suatu agama. Meskipun ia juga mengakui bahwa masih ada Penganut Kepercayaan yang “mendua” dengan beridentitaskan agama yang “diakui” negara.
Maksud dari mendua tersebut, Penganut Kepercayaan dalam ritual (ibadah) sehari-hari menggunakan tata cara Kepercayaan sementara identitas kependudukannya masih beragama (salah satu dari enam agama yang “diakui” negara). Mengenai mengapa Penganut Kepercayaan masih beridentitaskan agama, Tedi mengatakan, bahwa Penganut Kepercayaan dibayangi ketakutan akan kekerasan.
Penganut Kepercayaan kerap mengalami kekerasan fisik dan psikis ketika menampakan diri sebagai Penganut Kepercayaan. Pada beberapa tempat, Penganut Kepercayaan mengalami penolakan pemakaman, penolakan pembangunan sanggar (rumah ibadah), dan kesulitan mengurus Administrasi Kependudukan (Adminduk). (elsaonline.com, 17/8).
Atas dasar itu, kata Tedi, para Penganut Kepercayaan lebih memilih “aman” dengan ritual secara sederhana (diam-diam) dan tidak menolak ketika diberikan identitas salah satu agama dalam Adminduk. Itulah mengapa Penganut Kepercayaan masih ada yang beridentitaskan salah satu dari enam agama di Indonesia.
Berdasarkan penelitian itu, maka tidak tepat jika dikatakan bahwa “kepercayaan hanyalah sub dari sebuah agama”.
Implementasi Pendidikan (Agama) Kepercayaan
Penulis juga kurang sepakat dengan tulisan Muzayanah pada alenia keempat, kalimat keempat. Pada kalimat itu Muzayanah mengatakan bahwa Permendikbud No 27/2016 hanya menyediakan fasilitas pendidikan agama bagi penganut enam agama yang “diakui” negara. Bukan untuk Penganut Kepercayaan.
Kalimat tersebut menyatakan “turunan dari UU itu dalam bentuk peraturan perundangan lain di bawahnya, termasuk terakhir Permendikbud No 27/2016 tentang Layanan Pendidikan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan juga hanya memberikan fasilitas pemenuhan pendidikan agama bagi pemeluk keenam agama resmi tersebut”.
Hemat penulis, kalimat di atas tidak tepat bahkan cenderung parsial. Pasalnya, melihat dari sisi judul peraturannya pun sudah menunjukan bahwa terbitnya aturan tersebut untuk memenuhi hak Pendidikan Kepercayaan para siswa Penganut Kepercayaan. Bukan untuk siswa yang menganut “agama resmi” negara.
Begitu juga ketika menelaah batang tubuh Permendikbud tersebut sangat jelas mengatur fasilitas pemenuhan hak pendidikan agama bagi Penganut Kepercayaan. Pasal 2 Ayat 1 menyatakan “peserta didik memenuhi pendidikan agama melalui Pendidikan Kepercayaan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kurikulum”.
Selanjutnya ayat 2 menyatakan “muatan Pendidikan Kepercayaan wajib memiliki kompetensi inti dan kompetensi dasar, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, buku teks pelajaran, dan pendidik”. Ayat 3 menyatakan “kompetensi inti dan kompetensi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat 2, disusun oleh Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan diajukan kepada kementerian untuk ditetapkan”.
Dari pasal di atas jelas menunjukan bahwa Permendikbud No 27/2016 tegas mengatur fasilitas pemenuhan hak Pendidikan Kepercayaan pada setiap satuan pendidikan baik jenjang SD, SMP, maupun SMA. Pemenuhan Pendidikan Kepercayaan bagi siswa Penganut Kepercayaan penting untuk diimplementasikan.
Pemenuhan hak mata pelajaran Pendidikan Kepercayaan ini supaya kasus yang menimpa Zulfa Nur Rohman di SMK 7 Semarang tidak terulang kembali. Zulfa tak naik kelas karena enggan mengikuti praktik mata pelajaran Agama Islam dengan alasan bukan keyakinannya.
Pada level implementasi ini tentu membutuhkan panduan teknis dari setiap perangkat Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Dinas Pendidikan setiap kabupaten/kota harus menindaklanjuti Permendikbud No 27/2016 dengan membuat kebijakan yang lebih teknis dan operasional.
Dalam implementasinya, minimal ada dua cara yang dapat digunakan oleh setiap satuan pendidikan. Dua cara inilah yang sudah mulai dipraktikan dibeberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kudus.
Pertama, mendatangkan guru dari organisasi Penghayat Kepercayaan untuk mengajar Mata Pelajaran Kepercayaan di sekolah. Kedua, siswa Penganut Kepercayaan diberikan keleluasaan untuk tidak mengikuti pendidikan salah satu agama di sekolah. Para siswa Penganut Kepercayaan diberikan mata pelajaran tentang (teologi) Kepercayaan pada masing-masing Kelompok Kepercayaan.