Oleh: Tedi Kholiludin
Doaa El-Ghobashy menjadi salah satu atlet yang jadi bahan sorotan di Olimpade Rio, Brasil 2016 lalu. Atlet bola voli pantai dari Mesir itu berhijab kala bertanding di pentas tertinggi olahraga negara-negara di seantero jagat. Meski tak berhijab, pasangan Dooa, Nada Meawad menggunakan celana panjang kala mereka bersua pasangan Jerman Laura Ludwig and Kira Walkenhorst di the Beach Volleyball Arena 7 Agustus 2016 di Rio de Janeiro.
Dooa merupakan atlet olimpiade pertama yang mengenakan hijab, setelah otoritas tertinggi bola voli, FIVB (Fédération Internationale de Volleyball), mengizinkannya. Kolumnis CNN, Bill Weir, mencuit sembari memposting sebuah foto, “Olympic Rosrschach Test. Do you see a culture clash? Or the unifying power of sport?”
Komentar para netizen terbelah. Satu sisi ada yang melihat secara logis. Apakah tidak malah menyulitkan sang pemain ketika mereka menutup semua anggota tubuhnya kala bermain di teriknya pantai. Yang lain mengambil posisi berbeda. Bagi kelompok ini, gambaran kontras antara “bikini” dan “hijab” bukanlah sebuah benturan kebudayaan. “It is not a cultural clash. It is just a cultural difference,” kata salah seorang warganet.
Hal yang sama juga dilakukan federasi tertinggi sepakbola, FIFA (The Federation Internationale de Football Association). Sejak 2014, FIFA mencabut larangan memakai hijab bagi pesepakbola perempuan. Pada pergelaran Piala Dunia Wanita (Women World Cup) U-17 di Yordania, dua pemain tuan rumah; Tasneem Abu-Rob dan Rand Albustanji menjadi pemain yang paling disorot karena keduanya menggunakan jilbab.
Sepakbola, melalui federasinya, sejak lama menggaungkan semangat anti diskriminasi. Di Irlandia, beberapa aktivis anti rasisme tergabung dalam Sport Against Racism Ireland atau SARI. Sejak 1999, terbentuklah sebuah jaringan di Eropa (Fare, Football Against Racism in Europe) yang secara masif menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk rasisme, terutama yang kerap terjadi di lapangan sepakbola. Mereka mendapatkan dukungan penuh dari FIFA, UEFA dan Komisi Eropa.
Ada dua negara yang mewajibkan pemain sepakbola perempuannya menggunakan jilbab; Arab Saudi dan Iran. Gertrud Pfister dalam “Women and sport in Iran: Keeping goal in the hijab?” mengatakan di Iran, kesadaran perempuan untuk terlibat di ruang publik sangat menguat pasca Revolusi 1979. Hal itu ditandai setidaknya oleh lahirnya banyak organisasi independen, promosi yang besar untuk olahraga, serta dukungan terhadap kampanye “sport for all.”
Tetapi, segregasi berdasarkan gender masih merupakan jalan terjal yang mesti ditempuh di Iran. Menjadi hal yang sangat mahal bagi perempuan Iran menonton sepakbola. Jangankan di stadion, melalui televisi pun awalnya dilarang. Di stadion, perempuan hanya boleh melihat sepakbola perempuan. Sineas Iran Jafar Panahi mengkritik kebijakan ini melalui film satire bertajuk “Offside.”
Meski terjal, tetapi lambat laun reformasi di Iran telah berbuah. Kehadiran tim perempuan di lapangan hijau atau lapangan futsal setidaknya menandai geliat tersebut. Pada cabang futsal, prestasi mereka tak main-main. Tahun 2015, Fereshteh Karimi dan kawan-kawan menjadi kampiun se Asia pada Kejuaraan Futsal Wanita AFC di Malaysia.
Di Iran, kata Houchang E. Chehabi dalam “The Politics of Football in Iran,” sejak lolosnya Iran ke Piala Dunia 1998, popularitas sepakbola menggeser gulat. Sepakbola menjadi perlambang baru semangat nasionalisme. Sepakbola menguji performa sebuah tim yang dianggap representasi sebuah negara. Beda halnya dengan gulat yang mengandalkan kekuatan personal. Transisi dari gulat ke sepakbola, kata Chehabi setidaknya merepresentasikan perubahan sosial dan politik negara Mullah tersebut.
***
Pada 1994 di Brighton Inggris, ditandatanganilah kesepakatan internasional untuk mendukung penghapusan diskriminasi gender di dunia olahraga. Pernyataan yang kemudian dikenal sebagai “Brighton Declaration on Women and Sport” memiliki tujuan utama untuk mengembangkan budaya olahraga yang memungkinkan dan menghargai keterlibatan penuh wanita dalam setiap aspek olahraga. 280 orang yang mewakili 82 negara menandatangani petisi tersebut.
Komite olimpiade internasional (International Olympic Committee) menjadi institusi awal yang merespon kesepakatan tersebut. Pada perkembangannya, semangat untuk melawan diskriminasi inilah yang membuat pelbagai otoritas dalam olahraga memberi ruang bagi identitas budaya dalam dunia olahraga.
Ada ruang negosiasi antara identitas agama dan budaya serta olahraga. Tak hanya perempuan saja sebenarnya yang memerlukan ruang itu. Penganut Sikh misalnya. Tahun 2014 kemarin tersebar luas hashtag kampanye #LetSikhPlay menanggapi larangan menggunakan penutup kepala bagi pemain basket.
Kampanye tersebut kemudian menggugah kesadaran, yang pada gilirannya, membuat otoritas tertinggi bola basket dunia, FIBA (Fédération internationale de basket-ball) merubah keputusannya pada 1 Oktober 2017. Pemain bola basket boleh menggunakan tutup kepala yang dilandasi atas ajaran agama. Aturan FIBA itu tak hanya berlaku pada penganut Sikh tetapi juga pada muslimah. Bilqis Abdul-Qaadir, pemain basket perempuan pertama yang memakai jilbab di liga basket mahasiswa Amerika (The National Collegiate Athletic Association, NCAA).
Dari dulu hingga sekarang, dunia olahraga memang terus diupayakan sebagai alat untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian dan anti diskriminasi serta rasisme. Upaya ini tentu saja tidak mudah. Di Eropa, lemparan pisang kepada pemain-pemain Afrika dan Amerika Latin masih saja terjadi.
Toh begitu, pesan Nelson Mandela sepertinya masih menunjukkan optimisme. Kata Mandela, “sports can create hope, where there was once only despair. It is more powerful than governments in breaking down racial barriers. It laughs in the face of all types of discrimination. Sports is the game of lovers.”