Oleh: Tedi Kholiludin
Terduga penembak Dubes Rusia untuk Turki, Andrei Karlov, adalah seorang polisi. Namanya Mevlut Mert Aydintas. Usianya 22 tahun. Desember kemarin, Mevlut tergerak melakukan hal tersebut setelah melihat penderitaan “saudara-saudaranya” di Suriah akibat keterlibatan Russia disana. Sebelum menembak, ia berteriak, “Jangan lupakan Aleppo, jangan lupakan Suriah.”
Kasus diatas tentu membuat kita agak sedikit mengernyitkan dahi. Polisi punya peran besar dalam melakukan prevensi terhadap isu yang berkembang di masyarakat. Isu agama, suka atau tidak, punya efek besar. Ini artinya kita butuh polisi yang betul-betul punya komitmen kuat teguh dan patuh pada konstitusi. Jika pada faktanya ada model polisi seperti Mevlut diatas, adalah hal yang wajar kalau saya agak mencemaskan kehidupan keberagamaan kita.
Bulan Juni 2016 lalu saya diminta memfasilitasi pelatihan tentang implementasi Surat Edaran (SE) Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian atau hate speech. Pesertanya anggota polisi satuan bina masyarakat dari seluruh Indonesia. Lepas dari silang pendapat yang membalutnya, saya merasa perlu untuk memastikan bahwa SE ini benar-benar digunakan untuk menangani persoalan ujaran-ujaran kebencian. Kekhawatiran yang kerap muncul adalah SE ini menjadi alat negara untuk membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi.
Setelah menyampaikan aspek normatif-regulatif yang termaktub dalam SE yang sesungguhnya bukan barang baru, saya meminta peserta yang berjumlah 20-an itu membagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing saya meminta menganalisis kasus yang berbeda dan menunjukkan apakah ada aspek ujaran kebencian di dalamnya, serta bagaimana mereka sebagai polisi menangani kasus tersebut.
Dua kelompok pertama saya anggap mampu memahami implementasi dari SE tersebut. Kelompok terakhir menyampaikan analisis yang agak sedikit berbeda dengan dua kelompok pertama. Kelompok ini saya minta menjabarkan tentang contoh kasus mengenai pembakaran masjid milik Jemaat Ahmadiyyah oleh kelompok umat Islam lain yang berbeda pandangannya tentang Islam.
Kelompok ketiga ini menganalisis bahwa pembakaran rumah ibadah tersebut adalah sebuah akibat. Jadi polisi tidak bisa masuk dalam persoalan hukum kasus tersebut. Alasannya, keyakinan tidak bisa ditakar dengan menggunakan hukum. Bahasa mudahnya, mereka yang melakukan perusakan itu dasarnya adalah keyakinan bahwa Ahmadiyyah itu sesat, sehingga tindakannya itu tidak bisa dihukumi. Juru bicara kelompok ini melanjutkan, karena ini berkaitan dengan keyakinan, maka aspek-aspek yang berkaitan dengan ujaran kebencian, atau tindak pidana atas dasar kebencian (hate crime) tidak bisa diberlakukan dalam kasus ini.
Saya kemudian meminta kepada peserta yang lain untuk mengkritisi atau memberi sanggahan atau bahkan mungkin menguatkan argumen kelompok ketiga ini. Tak ada yang mengacungkan tangan. Semuanya terdiam, karena mungkin sudah ingin segera mengakhiri sesi. Dan akhirnya, saya menutup sesi tersebut dengan memberikan argument versi saya dari paparan kelompok tersebut.
Selepas mengakhiri diskusi, salah seorang dari peserta pelatihan kemudian menghampiri saya. “Mestinya, kelompok itu tidak memberi penjelasan demikian. Kita, sebagai polisi, memang tidak boleh mengintervensi keyakinan masyarakat. Tapi, jika tindakannya sudah mengarah pada pidana, apalagi kasus yang dicontohkannya adalah merusak rumah ibadah, ya harus dihukum,” katanya.
Peristiwa yang saya alami tentu tidak bisa digeneralisasi. Ada banyak polisi yang perspektifnya tentang konstitusi sudah cukup tegas. Namun, tidak berlebihan kiranya jika muncul sedikit kekhawatiran. Penguatan-penguatan perspektif, baik soal Hak Asasi Manusia (HAM) ataupun tentang jaminan kebebasan beribadah, nampaknya harus terus dilakukan.
Direktur Intel dan Keamanan Polda Jawa Tengah, dalam diskusi terbatas tahun lalu pernah menanyakan soal kedudukan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah fatwa MUI tentang status sebuah kelompok keagamaan itu harus mutlak diikuti oleh polisi atau tidak. Menurutnya, ketika polisi tidak mengikuti fatwa itu, mereka dianggap tidak mengakui atau bahkan mengabaikan sebuah otoritas agama. Namun, tak jarang, fatwa yang dikeluarkan kerap berpotensi memunculkan gesekan-gesekan sosial.
Saya kemudian mengatakan bahwa alat kendali polisi adalah konstitusi. Betapapun sebuah otoritas agama menganggap sebuah kelompok sesat dan menyesatkan, tetapi jika mereka tak bertentangan dengan konstitusi, maka mereka memiliki hak untuk hidup di Indonesia. Begitu juga sebaliknya. Meski sebuah kelompok tampak sangat religius, tetapi jika mereka tak mengakui konstitusi, maka polisi punya kewajiban untuk melakukan penindakan.
Penguatan perspektif terhadap polisi harus menjadi kerja-kerja berkelanjutan. Meski mungkin hal ini sudah dimiliki oleh pejabat-pejabat mereka, tetapi aparat yang ada di lapangan kerap menemukan hambatan-hambatan yang bersifat teknis. Mereka misalnya, harus berhadapan dengan argumentasi-argumentasi agama. Meski secara konstitusional, tindakan aparat kepolisian itu sudah benar, mereka akan dianggap melawan, menista atau menodai agama.
Situasi demikian, sekali lagi, mengharuskan polisi harus terus menerus diperkuat cara pandangnya terhadap keagamaan. Sebagai apparatus negara, polisi mestinya memang ada dalam posisi netral. Meski sudah menjadi kewajibannya, mereka yang berkinerja baik (baca: memegang teguh konstitusi), layak diapresiasi.