Prekariat di Perbatasan: Derita dan Ironi Pekerja Migran Indonesia

Oleh: Alfian Ihsan

Dosen Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Ketika 19 juta lapangan pekerjaan tak juga direalisasikan, #kaburajadulu jadi pekerja migran bisa jadi solusi. Ini adalah ironi di tanah gemah ripah loh jinawi, tapi kenikmatan hanya dinikmati politisi.

Bekerja di luar negeri masih menjadi cita-cita banyak anak muda desa yang bosan dengan kemiskinan. Tingkat kognitif yang relatif rendah membuat mereka tidak punya kualifikasi untuk memenuhi syarat beasiswa kuliah. Tapi tingkat kemiskinan mereka juga tidak cukup ekstrim untuk memenuhi standar kemiskinan penerima KIP Kuliah.

Ada beberapa cara untuk bisa bekerja ke luar negeri. Bisa melalui jalur agen resmi dengan mengikuti kursus keterampilan dan bahasa. Adapula jalur gelap melalui jaringan penyelundupan. Jalur ini bisa memakan biaya besar untuk membayar jejaring yang terdiri dari beberapa orang penjaga wilayah. Cerita mengenai penyelundupan pekerja migran diceritakan dengan apik dalam film Bollywood ā€œDUNKIā€ yang dibintangi oleh Shahrukh Khan.

Dari tahun ke tahun, cerita mengenai penderitaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) langganan muncul di layar kaca ponsel kita. Paling mutakhir, beberapa tahun ini kita disuguhi penipuan calon PMI yang dijanjikan bekerja di hotel Thailand namun berakhir menjadi operator judi online di Kamboja. Beruntung mereka masih hidup dan sempat mengirim uang ke keluarga. Ada pula yang langsung dikuras isi organ dalamnya, dan tidak memperoleh sedikitpun bagi hasil jual ginjal.

Guy Standing, ekonom Inggris yang fokus pada perburuhan, mengkategorikan pekerja migran sebagai kelas miskin dan rentan. Precariat, gabungan dari kata Precarious (rentan) dan Proletariat (miskin). Istilah prekariat digunakan Standing untuk menyebut kelas pekerja yang menjadi korban sistem kerja kontrak jangka pendek tanpa jaminan hukum dan sosial. Contoh pekerjaan yang masuk kategori prekariat adalah pekerja kebersihan, kurir pengantar, buruh outsourcing, guru dan dosen honorer, dan pekerja migran. Namun secara umum, prekariat adalah semua pekerja yang tidak punya kepastian pendapatan, kontrak kerja, dan jaminan.

Baca Juga  Human-Centered Islam: eLSA dan Strategi Membangun Perdamaian

Ada satu bab mengenai pekerja migran, khususnya pekerja migran ilegal, yang ditulis oleh Standing dalam buku The Precariat: The New Dangerous Class. Satu bab yang memaparkan penderitaan pekerja migran ilegal, jauh lebih rentan dari pekerja prekariat lain yang tidak meninggalkan negara asal. Standing menguraikan tiga peran yang dialami oleh pekerja migran illegal. Dua peran yang menyedihkan, dan satu peran penutup luka meski sakit masih terasa.

Peran pertama adalah sebagai korban. Pekerja migran ilegal merupakan korban dari ketimpangan dalam hal ekonomi, perkembangan industri, serta nilai tukar antar negara. Hal tersebut membuat banyak orang dari negara berkembang dan terbelakang ingin mengadu nasib di negara maju.

Tatkala memasuki sebuah negara dengan jalur tidak resmi, maka dia tidak punya daya tawar terkait jenis pekerjaan dan upah. Maka pemberi kerja memiliki kuasa besar untuk menentukan besaran upah yang ingin diberikan. Jika menolak, maka pekerja migran ilegal beresiko menganggur dan terlunta-lunta di negara antah berantah. Mempekerjakan pekerja migran ilegal juga bisa memberi keuntungan bagi pemilik usaha. Karena dia tidak harus membayar pajak pekerja migran dan tambahan biaya untuk jaminan kesehatan atau keselamatan kerja.

Peran kedua pekerja migran ilegal adalah sebagai musuh. Mau diupah murah tanpa pajak dan tambahan biaya jaminan berarti meringankan beban keuangan pemilik usaha. Hal ini berbeda jika mempekerjakan warga lokal yang dilindungi aturan pekerja di sebuah negara. Ada standar minimal upah, jaminan kesehatan, keselamatan kerja, dan tunjangan. Fenomena tersebut mempertajam kompetisi di dunia kerja, antar warga lokal dan antara warga lokal dengan migran ilegal. Situasi demikian membuat warga lokal membenci migran ilegal, memusuhi, dan berakhir dengan tuntutan protes agar negara melakukan deportasi pada migran ilegal.

Baca Juga  Multiwajah Islam dan Tantangan Muslim Indonesia

Peran ketiga, sedikit mengobati luka. Migran ilegal merupakan pahlawan bagi negara asal dan keluarga. Uang hasil kerja yang dikirimkan akan menambah aliran dana asing ke negara asal, meningkatkan devisa. Meski kontribusi yang diberikan berupa devisa tidak sebanding dengan upaya negara memberikan perlindungan melalui kantor kedutaan besar. Hanya satu hal yang paling kongkrit bagi migran ilegal, adalah kepahlawanan bagi keluarga yang ditinggalkan. Uang yang mengalir ke keluarga adalah pelita untuk melanjutkan kehidupan.

Demikianlah derita pekerja migran ilegal, kelas prekariat yang sulit menyampaikan suara penderitaan mereka sendiri. Bahkan meski bisa bersuara, tidak akan pernah sampai di telinga orang yang berkuasa di negara. Mereka lebih sibuk berbagi sumber dana, jabatan pimpinan kembaga, dan memburu objek pajak.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Di Balik Ketenangan Jalsah Salanah di Krucil Banjarnegara

Oleh: Tedi Kholiludin Letak Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang...

“Everyday Religious Freedom:” Cara Baru Melihat Kebebasan Beragama

Oleh: Tedi Kholiludin Salah satu gagasan kebebasan beragama yang...

Penanggulangan HIV dan Krisis Senyap di Garda Depan

Oleh: Abdus Salam Staf Monitoring Penanggulangan HIV/AIDS di Yayasan ELSA...

Fragmen Kebangsaan dari yang Ter(Di)pinggirkan

Oleh: Tedi Kholiludin Percakapan mengenai kebangsaan dan negara modern, sering...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini