Salatiga, elsaonline.com– Posisi laki-laki dan perempuan dalam penghayat kepercayaan seperti Sapta Darma digambarkan dengan posisi setara, yaitu berada dalam satu garis horizontal cahaya yang ditempati manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Ajaran dalam Sapta Darma dan tentu penghayat lain ini jika kita renungi bagian dari kesetaraan gender.
Hal itu disampaikan Ketua Puanhayati Jawa Tengah Dwi Setyani Utami (34) dalam Pelatihan Kapasitas Organisasi Puanhayati Jawa Tengah yang diselenggarakan organisasi perempuan penghayat Puanhayati Jawa Tengah bekerjasama dengan Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) dan Satu Nama di d’Emmerick Hotel Kota Salatiga, Senin-Rabu (10-12/08/20).
Bagi pemeluk Sapta Darma pegiat kerukunan antarumat beragama di Semarang itu, pada dasarnya dalam penghayat kepercayaan kedudukan perempuan setara dengan laki-laki, hanya saja di dalam keluarga harus ada komunikasi dan keterbukaan di antara laki-laki yang menjadi suami dan perempuan.
“Secara ajaran, kita tidak ada larangan untuk aktif berorganisasi atau beraktivitas lain di ruang publik, hanya saja bagi yang sudah berkeluarga masing-masing perlu ada komunikasi dengan pasangannya agar tidak terjadi kesalahpahaman dan tahu apa yang kita kerjakan,” jelasnya.
Menurutnya, perempuan dan laki-laki harus sama-sama bertanggung jawab atas aktivitasnya masing-masing. “Artinya, baik laki-laki maupun perempuan bisa sama-sama berada di ruang publik sekaligus domestik, bisa aktif dalam kerja-kerja sosial, tapi dalam waktu bersamaan juga bisa menjadi ibu rumah tangga. Yang terpenting ada komunikasi yang baik antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga,” paparnya.
Pandangan Negatif
Penghayat Medal Urip Sukma Dewi nawangwulan (40) menyadari bahwa perempuan penghayat kepercayaan perlu memberikan banyak informasi kepada masyarakat mengingat selama ini kerap dipandang negatif. Pasalnya, penghayat kepercayaan kerap dituduh aliran sesat.
“Saya dulu sering dituduh sebagai aliran sesat, bahkan kami perempuan keluar malam dituduh sebagai cewek panggilan. Padahal yang kami lakukan mengikuti sujudan (ritual keagamaan, red). Sujudan di kami kan memang dilakukan malam hari,” jelasnya.
Meski banyak perkataan negatif yang menyasar kepada para perempuan penghayat, namun kata Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Paguyuban Noormanto (PKPN), Sarwiti Dewi (55), mereka tetap menjalankan sujudan atau ritual keagamaan, meski di daerahnya tidak sedikit pula yang kemudian berhenti dan melakukan ritualnya secara diam-diam di rumah. [@khoirulanwar_88]