Anti Syiah, Anti Salib dan Isu Teranyar Para Laskar

Oleh: Tedi Kholiludin

Penyerangan terhadap Jamaah Syiah oleh kelompok intoleran yang terjadi pada Sabtu, 8 Agustus di Surakarta jelas bukan yang pertama. Penyerangan yang kurang lebih sama, terakhir, terjadi pada 2018. Seperti yang telah diberitakan banyak media, upacara midodareni (kegiatan rangkaian pernikahan) yang dihelat keluarga Umar Asegaf diserang oleh masa intoleran. Tiga orang dilaporkan terluka karena dianiaya. Situasi yang kurang lebih sama terjadi pada 2018. Ketika itu, umat Syiah hendak melaksanakan peringatan Hari Asyuro di rumah Segaf Bin Husain Al Jufri di Mertodranan, Pasar Kliwon, Semanggi Surakarta, September 2018. Masa yang menganggap Syiah sebagai aliran sesat di luar Islam itu datang bergerombol dengan maksud membubarkan ritual tahunan tersebut.

Ironisnya, kelompok Anti Syiah di Surakarta tak hanya beraksi di lingkaran masyarakat biasa, tetapi juga kerap melakukan intervensi ke area akademis. Dua kejadian setidaknya terekam di Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Tahun 2014, Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), serta elemen lain menggagalkan pendirian Iran Corner disana. Alasannya mudah ditebak; terselip agenda penyebaran ajaran Syiah melalui kerjasama tersebut.

Penolakan juga dilakukan ketika di kampus tersebut pada 2017. Ketika itu, di IAIN Surakarta hendak dilakukan bedah buku “Islam Tuhan Islam Manusia” dengan mengundang Haidar Baghir sebagai penulisnya. Salah satu elemen yang menolak adalah Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) Surakarta. Mereka menolak kegiatan tersebut, karena Haidar Bagir dianggap sebagai salah satu tokoh Syiah berpengaruh di Indonesia.

Saya mencatat beberapa hal berkaitan dengan peristiwa penyerangan terhadap umat Syiah di Surakarta. Catatan-catatan itu, beberapa diantaranya mungkin sesuatu yang perlu dilihat korelasinya, karena masih perlu diuji kesahihannya.

Baca Juga  Mengapa Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Terjadi?

Pertama, aktivitas kelompok-kelompok Anti Syiah masih cukup bergeliat di wilayah Solo Raya meskipun pandemi masih melanda. Selain kasus penolakan terhadap umat Syiah, di waktu yang tak berjauhan (7 Agustus), Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) melakukan protes karena logo Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke 75 mirip dengan simbol Salib.

Ihwal persaliban ini kita tentu masih ingat isu serupa yang mencuat pada awal tahun 2019. Pemerintah Kota Surakarta melakukan pemasangan paving di Jalan Jenderal Sudirman di Depan Balai Kota Surakarta yang desainnya mirip salib. LUIS menilai hal tersebut meresahkan umat Islam Solo. Padahal desain itu sama sekali tak menggambarkan salib tapi konsep Jawa dimana delapan arah mata angin mengelilingi Tugu Pemandengan.

Kedua, bertaut dengan catatan pertama, isu Anti Syiah dan Anti Salib, untuk sementara menjadi pendulum untuk menggerakkan masa. Soliditas dibutuhkan, karenanya, musuh harus diciptakan. Dua isu itu, sudah teruji cukup ampuh. Pada gilirannya, isu ini berarsiran dengan penista agama dan hal-hal sejenis. Ketika KH. Ahmad Muwaffiq hendak berceramah di kota ini pada Desember 2019, para laskar turun ke jalan dengan maksud menolak kehadirannya, lantaran dianggap menista agama. Sontak, mereka berhadap-hadapan dengan warga Nahdlatul Ulama (NU). Bentrokan sempat terjadi di depan kantor Pengurus Cabang NU (PCNU) Surakarta.

Ketiga, dalam kasus dimana kelompok Syiah sering menjadi sasaran, ada ANNAS sebagai organ yang berdiri di garis depan penolakan. Dari namanya, jelas, kemana arah perjuangan kelompok ini. Sejak didirikan pada 20 April 2014, ANNAS bertekad untuk melindungi umat dari akidah Syiah, mewaspadai dan mencegah ajaran Syiah serta mendesak pemerintah membubarkan yayasan atau lembaga yang berafiliasi dengan Syiah (poin kedua, ketiga dan keempat Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah). Ia tak hanya berperan sebagai pemberi justifikasi secara ideologis, tetapi juga melakukan pergerakan dan aktivitas yang bertujuan menghambat laju perkembangan dakwah kelompok Syiah.

Baca Juga  Desentralisasi dan Masalah Pengelolaan Keragaman

Keempat, tidak ada perubahan yang signifikan pada perspektif aparat keamanan ketika berhadapan dengan situasi seperti diatas. Ruang negosiasi selalu dibuka dengan mereka yang melakukan penolakan atas nama keyakinan. Jelas sekali, bahwa keamanan dan ketertiban (plus kerukunan) selalu menjadi dalil untuk mengamini mereka yang melakukan tindakan-tindakan intoleran tersebut. Padahal di sudut yang berbeda, ada juga warga negara yang memiliki hak sama. Walhasil, jika yang terjadi adalah “permohonan” untuk menghentikan kegiatan karena ada tekanan atau pergerakan masa, maka itulah konklusi dari dibukanya negosiasi.

Kelima, kota (Surakarta) ini hendak menggelar pemilihan kepala daerah pada 2020. Perlu telaah lebih lanjut, apakah ada korelasi langsung antara tindakan-tindakan tersebut jelang momen politik ini.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini