Bonhoeffer, Sekularisasi Dan Geografi Kebebasan

Oleh: Tedi Kholiludin

Where is the Church?”, tulis William H. Willimon dalam bukunya “What’s Right With the Church: A Spirited Statement for those who have not given up on the church and for those who have”. Tentu ini bukan pertanyaan yang sedang dilontarkan oleh orang yang sedang berada dalam perjalanan dan berniat untuk mengikuti misa atau kebaktian di Gereja. Namun, ini merupakan sebentuk pertanyaan filosofis yang hendak diajukan untuk mencari di manakah makna substantif dari agama. Willimon kemudian melanjutkan pertanyaan di atas dengan maksud mempertegas pertanyaan pertamanya. Willimon bertanya “where is the real church, the true church?”

Dalam bukunya tersebut, Willimon memberikan semacam gambaran kasar yang dapat menunjukan letak sebuah gereja, yang dalam konteks ini mungkin dimaksudkan sebagai bagian dari simbol kebenaran hakiki sebuah agama. Jawaban pertama dari pertanyaan tersebut dilontarkan oleh para Cyprian dengan kata-kata “Where the bishop is, there is the church”. Jika yang ditanya adalah para reformis, maka kata yang meluncur dari mulutnya mungkin akan berbunyi, “Where correct is preached, there is the church”. Jawaban ketiga bisa jadi berbeda dengan jawaban yang pertama dan kedua jika yang ditanya adalah seorang Anabaptists. Ia barangkali akan menjawab “where the visibly, consciously converted are gathered, there is the church” (William H. Willimon: 1989, 9).

Ketika letak Gereja (baca: kebenaran) sudah diketahui, lantas muncul pertanyaan, bagaimana agar kebenaran itu hadir dalam ruang publik dan bisa menjadi bahan konsumsi bersama. Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) memiliki pengalaman yang unik saat ia berusaha mencari kebenaran agama. Bonhoeffer merupakan aktivis politik berkebangsaan Jerman yang hidup pada masa pemerintahan Adolf Hittler. Bonhoeffer yang juga seorang pastur Lutheran, dipenjara selama perand Dunia II dengan tuduhan terlibat dalam kegiatan anti-Nazi di Jernman. Seteleh dipenjara selama dua tahun ia dieksekusi pada tanggal 9 April 1945. Ia yang secara terang-terangan menolak dan menentang rezim Hitler dan dipenjarakan hingga akhirnya dibunuh di penjara sesaat sebelum perang dunia berakhir.

Baca Juga  Edisi VI: Bantahan Ibnu Rusyd Terhadap Fuqahâ`

Sebagaimana dikutip oleh Karel A Steenbrink, Bonhoeffer melihat bahwa agama sebagai lembaga sosial selalu terlibat dalam politik yang kompromistis. Bonhoeffer beranggapan, agama selalu digunakan oleh penguasa untuk melegitimasi kepentingannya. Gereja Kristen juga terlibat dalam politik Hitler yang dahsyat. Nama Tuhan, dalam pandangan Bonhoeffer seringkali disalahgunakan. Suatu waktu, Bonhoeffer mengusulkan agar nama Tuhan lebih baik tidak digunakan karena seringkali disalahartikan. Bonhoeffer mengusulkan agar manusia lebih baik hidup, etsi deus non daretur, seolah-olah tidak ada Tuhan, meskipun para pengikut Yesus tetap diwajibkan melaksanakan perintah-perintah etika yang dianjurkan oleh Yesus. (Steenbrink: 1987, 60).

Meski Bonhoeffer suatu waktu melakukan kritik yang cukup pedas terhadap lembaga gereja, namun ia tetap menganjurkan umat Kristen untuk tidak mengabaikan gereja. Bonhoeffer mengatakan, “Sesudah Kristus disalibkan dan bangkit dari mati, Dia hadir di dalam gereja dan gereja harus diterima sebagai pusat sejarah dunia. Tentu, sejarah dunia ini ditentukan oleh kuasa politik dan negara. Akan tetapi secara tersembunyi gereja harus hadir di dalamnya. Gereja tidak boleh menjadi pusat melalui kekuasaaan yang bisa direbut atau melalui identifikasi dengan politik, melalui suatu gereja-negara… Gereja haruslah merupakan arti dan janji tersembunyi dari negara: harus mengukur serta menyempurnakan negara dalam wujudnya”.

Pandangan religius dari seorang Bonhoeffer juga bisa dilihat dalam karya Hugh Goddard, “Christians and Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding.” Saat masih dalam penjara, Bonhoeffer menuliskan kata dari edisi surat yang ringkas yang berbunyi “Saat kekuatan kabikan datang dan membantu kita, Dengan berani kita akan menghadapi masa depna, apa pun yang terjadi. Pada pagi dan petang, Tuhan akan menemani kita, Dan wahai hari-hari yang baru akan terbit!” (Hugh Goddard: 2000, 142). Saat Goddard membandingkan surat Bonhoeffer dengan surat-surat penjara Muhammad Fadhel Jamali, seorang politisi yang Iraq yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri dan dua kali menjadi Perdana Menteri dari tahun 1945 hingga 1958, ia menyimpulkan bahwa baik Bonhoeffer maupun Jamali sama-sama menunjuk pada pentingnya keimanan, hati nurani yang tulus, dan kawan yang setia.

Baca Juga  Catatan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah 2015

Ada yang beranggapan bahwa Bonhoeffer adalah tokoh yang kali pertama menerima terminologi tentang sekularisasi. Meski ia sendiri tidak pernah memunculkan istilah itu, tetapi jika sekularisasi itu bermakna elastis, maka Bonhoeffer merupakan orang pertama yang menawarkan esensi dari sekularisasi itu. Persoalan yang hadir di belakangan hari justru muncul berkaitan dengan ragam peristilahan, baik itu sekuler, sekularisasi atau sekularisme. Untuk memahami makna yang paling asasi dari sekularisasi dan sekularisme, maka peristilahan ini harus terlebih dahulu dijernihkan untuk menghindari kerancuan berpikir.

Dalam pandangan Nurcholis Madjid, Sekularisasi itu berbeda dengan sekularisme. Jika sekularisme lebih dinilai sebagai satu sikap akhir yang eksklusif, maka sekularisasi dilihatnya sebagai injeksi positif yang selalu terbuka agar manusia tidak terjebak pada fanatisme dan ketertutupan sikap. Karenanya, Cak Nur tertarik untuk menawarkan konsep sekularisasi, bukan sekularisme. Namun pandangannya ini ditolak mentah-mentah oleh HM Rasyidi dan kawan-kawan yang menilai tidak ada bedanya antara sekularisme dan sekularisasi. Keduanya sama-sama menunjuk pada satu jenis peristilahan yang mewakili satu bentuk upaya pemisahan agama dan negara, titik.

Harvey Cox dan Van Peurseun memiliki tafsiran sendiri terhadap sekularisasi ini. Ia menilai bahwa sekularisasi merupakan gejala positif yang ditafsirkan sebagai “menduniawikan” ajaran fundamental agama Kristen (Steenbrink: 1987, 66). Mereka berdua memaparkan bahwa Kristen pada awal kemunculannya adalah agama minoritas yang hendak menyebarkan cita-citanya dalam masyarakat luas. Sampai sekitar abad ke 4, agama Kristen tetaplah sebagai agama minoritas dan pengikutnya diancam oleh penguasa. Dalam situasi seperti ini, hanya orang yang berkeyakinan tinggi dan memiliki semangat keberagamaan kuat yang mau menjadi orang Kristen.

Sampai kemudian Kaisar Konstantin (312-337) masuk agama Kristen dan sejak saat itu terjadilah penyatuan wewenang antara negara dan gereja. Di satu sisi model ini cukup menguntungkan gereja karena dalam hal yang terkait dengan fasilitas fisik seperti tempat peribadatan dan lain-lain, mendapat perhatian dari negara. Namun di sisi lain, simbiosis ini kerap kali merugikan gereja. Tak jarang gereja dimanipulasi untuk kepentingan kerajaan. Sekularisasi dengan demikian adalah spirit untuk kembali pada masa-masa di mana Kristen menjadi agama minoritas yang menandai akhir dari sejarah Konstantin.

Baca Juga  "Penodaan Agama” Pasca Putusan MK

Dengan demikian, sekularisasi dalam sejarah Kristen adalah upaya untuk membebaskan gereja dari kepentingan dunia. Pendek kata, sekularisasi merupakan usaha agar gereja tetaplah menjadi simbol bagi kesucian agama. Tetapi hal ini bukan berarti ia tidak memiliki peran dalam pembangunan negara. Seperti yang dikatakan Bonhoeffer di atas, bahwa gereja haruslah merupakan arti dan janji tersembunyi dari negara. Dengan kata lain, sekularisasi berarti sebuah upaya penduniawian yang cukup erat dan memiliki ketersambungan dengan desakralisasi. Desakralisasi dan sekularisasi mempunyai kaitan erat karena keduanya mengandung arti pembebasan. Sekularisasi berarti terlepasnya atau pembebasan dunia dari pengertian religius. Begitu pula desakralisasi yang diartikan sebagai upaya pembebasan dari legitimasi sakral. (Pardoyo:1993, 47).

Upaya pembebasan ini dilakukan sebagai usaha agar manusia kembali ke keadaan yang asli, selaras dengan eksistensinya serta membebaskan manusia. Upaya membebaskan manusia ini sebenarnya memiliki dua konotasi. Yang pertama, desakralisasi sebagai pembebasan manusia dari nilai-nilai agama ataupun segala macam metafisika, dalam arti terlepasnya dunia dari pengaruh religius. Yang kedua, desakralisasi sebagai pembebasan manusia dari pengkeramatan alam. Dengan demikian sikap ini membuka peluang bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Untuk mendukung gagasan tentang sekularisasi, maka pengertian yang tepat untuk diterapkan adalah sekularisasi dalam pengertian yang kedua. Ini artinya, bahwa proses sekularisasi tidak berarti menutup rapat-rapat pintu bagi masuknya agama. Agama tetap mendapat ruang dalam dunia yang sekular. Justru dunia akan mendapat pencerahan saat sekularisasi mengambil tempat, karena di sana rasionalisasi juga berperan. Rasionalisasi berarti suatu upaya untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal guna kebahagiaan umat manusia dan itu adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Bung Hatta dan Demokrasi Kita yang Masih Sama Saja

Oleh: Sidik Pramono Buku yang berjudul Demokrasi Kita ini merupakan...

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini