– Diskusi Gerakan Kiri di Semarang
[Semarang – elsaonline.com] Sarekat Dagang Islam atau yang kerap dikenal Sarekat Islam (SI) mempunyai cerita sejarah yang pantang nan berliku dalam menjalankan roda organisasinya di bumi Indonesia. SI diklaim menjadi organisasi pertama politik masa Hindia Belanda. Ada dua versi soal pendirian SI. Pertama didirikan di Solo oleh Haji Samanhudi. Sementara pada versi lain SI didirikan Kartosuwiryo di Bogor.
Sejak sebelum kemerdekaan, SI banyak dicurigai melakukan tindakan-tindakan yang tidak pro para pemerintah Kolonial. Seperti SI yang berada di Demak, pengikut Sarekat Islam tidak mau membayar pajak. Akibatnya saat itu, SI dituding telah melakukan pembangkanan pada pemerintah kolonial.
“Hal ini terjadi juga di daerah lain. Sarekat Islam membuka cabang di beberapa Daerah, di Demak, Kudus, Semarang dan daerah lain seantero Jawa. Karena itu, Semarang sebagi kota dagang, sangat terbuka dan mampu memudahkan ideologi untuk menyebarkan ideologinya,” kata pemerhati budaya dan sejarah Semarang, Rukardi, dalam diskusi ‘Sarekat Islam dan Gerakan Kiri di Semarang’, di aula Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Rabu (23/10).
Dikatakan Rukardi, bahwa SI adalah tonggak pergerakan nasional. Ia lebih memilik SI ketimbang organisasi Budi Utomo sebagaimana dianut oleh Soekarno dan Soeharto. “SI dianggap Belanda balelo dan terlalu nakal. Londo (sebutan Belanda) melihat kebaradaan SI membahayakan dan berusaha menjinakkan dengan membentuk sarekat Islam lokal,” tambahnya.

SI di Semarang mempunyai perkembangan yang signifikan lewat peran anak muda, Semaun. Perkembangannya juga tidak terlepas dari keberadaan kawasan yang dinilai paling kosmopolit saat itu. Salah satu dasarnya karena Semarang dilengkapi beragam jalur. Dan tentu karena Semarang adalah jalur kereta api yang pertama kali dibangun di Indonesia.
“Semaun bergabung dengan SI di usia 15 tahun. Di tangan Semaun basis massa SI meningkat tajam menjadi 200.000 ribu orang. SI dimerahkan oleh Semaon,” sambung Rukardi.
Seolah belum cukup, Rukardi juga menduga hika tahun 1916, Semaun berhasil menyingkirkan M Yusuf, ketua SI saat itu. Padahal usianya saat itu baru 17 tahun. Semangat kepemudaan inilah yang mendorong Semaun mengkritik orang tua yang dinilai lembek. “Ahmad Dahlan dulu ikut SI, tapi kemudian keluar dan mendirikan Muhammadiyah,” tandasnya.
Ia juga menyinggung beberapa warisan SI di Semarang yang terbengkelai. Padahal warisan sejarah itu sangat berguna. Salah satu yang santer diberitakan adalah adanya penyelamatan gedung SI di kampong Gendong oleh pemerhati budaya.
“Ketika kita ingin menyelematkan gedung SI, masyarakat disana pada tidak tahu. Malah warga mempersilahkan dibangun lantai 3 untuk balai warga. Tapi kami sudah cukup bangga, upaya penyelamatan kami ini mendapatkan respon yang cukup baik dari Pemerintah Kota Semarang,” lanjut Rukardi.
Baginya, penyelamatan gedung SI tidak dipahami hanya sebagai penyelamatan bangunan. Tapi gerakan di Semarang juga harus dihidupkan kembali. “Banyak muda-mudi yang tidak tahu tentang sejarah ini. Parahnya, warga yang hidup di sekitar bangunan SI tidak tahu akan sejarah itu. Padahal, dulu Semarang menjadi Kota yang bersaing dengan kota-kota lain yang dimiliki Hidia Belanda. dulu menjadi kota kosmopolitan yang menyaingi Batavia dan Surabaya,” sambung penulis buku Remah-remah Kisah Semarang itu. [elsa-ol/Nazar]