Pola kehidupan seperti ini berbeda dengan kota-kota lain di Jawa Tengah. Di Solo, lanjut penulis buku “Budaya Pecinan Tionghoa Semarang, masyarakat Tionghoa kerap terlibat dalam persaingan dagang dengan warga lainnya. Sehingga, sentiment kerap dengan mudah disulut. Peristiwa 1998 merupakan salah satu contoh untuk menggambarkan situasi tersebut.
Soenarto menambahakan, asumsi umum mengatakan orang Tionghoa itu pelit. Tidak pernah menghargai yang lain. “Mereka tahunya ada duit, dan bisa beli. Saya membayar anda sebagai buruh, atau orang yang bekerja pada saya. Tapi, dalam bisnis level menengah ke atas, mereka setara, saling menghormati. Walaupun pasti ada juga persaingan disana,” tambah Soenarto.
Kontribusi warga Tionghoa terhadap kebudayaan masyarakat Semarang cukup besar. Baik dari aspek kuliner, bahasa, kemasyarakatan serta agama ada nuansa Tionghoa disana.
“Mungkin ini yang menyebabkan kenapa Semarang itu teduh. Konflik relatif bisa diminimalisir,” tukas Soenarto. Dalam masalah agama misalnya. Di sebuah komunitas, percakapan yang sering mengemuka lebih banyak soal pekerjaan, bukan identitas agama. “Kita bisa menyebut mereka pragmatis, atau bisa jadi juga ini sebentuk toleransi, saling menghargai keyakinan keagamaan masing-masing,” imbuh Soenarto.
Karena desain Semarang sebagai kota dagang, maka tak heran jika percakapan tentang agama relatif tidak berujung pada segregasi. “Kalau lagi cari duit, tidak ada urusan agama disana,” kata Soenarto mengakhiri percakapan. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin/001]