Sikep, Sedulur Sikep atau Wong Sikep? (3)

Mempelai perempuan Dwi Winarti (16) dicukur sebagian rambutnya. Pencukuran rambut disebut "Cukur Gombang" yang merupakan tradisi Sedulur Sikep sebelum digelar Pasuwitan atau Perkawinan. [Foto: Nazar]
Mempelai perempuan Dwi Winarti (16) dicukur sebagian rambutnya. Pencukuran rambut disebut “Cukur Gombang” yang merupakan tradisi Sedulur Sikep sebelum digelar Pasuwitan atau Perkawinan. [Foto: Nazar]
[Kudus –elsaonline.com] Penyebutan nama Sedulur Sikep dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi sosial dan masyarakat. Penyebutan nama Sedulur Sikep agar komunitas masyarakatnya menekankan unsur yang cenderung lebih positif dibandingkan dengan sebutan lain.

Istilah sikep, Sedulur Sikep, Wong Sikep atau Samin masih menjadi identitas yang kerap diplesetkan. Beberapa identitas tersebut kerap dan bahkan diidentikan dengan kelompok pewaris tradisi nenek moyang.

Menurut Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, Jawa Tengah, Mohammad Rosyid, yang benar menyebut pemelihara tradisi lokal itu adalah Sedulur Sikep. Sebutan lain, laiknya Samin sudah ditinggalkan sejak lama.

“Penyebutan Samin karena pada tidak mau, karena ada asumsi negatif. Mereka menolak dan menginginkan nama Sedulur Sikep yang mengandung istilah yang positif,” kata Peneliti soal Samin itu, tengah pekan lalu.

Bagi Anis Sholeh Ba’asyin, tokoh agama Islam yang juga penulis buku Samin: Mistisisme Petani di Tengah Pergolakan itu yang benar justru hanya “Samin” saja. Istilah tersebut merujuk pada sejarah ajarah mbah Samin yang dihubungkan dengan Tarekat Tsamaniyah.

Dalam buku yang ditulisnya itu, Anis melihat sejarah Mbah Samin Surosentiko sebagai santri tulen yang beristrikan seorang santri juga. Sang istri kata dia, selalu berontak ketika ada perilaku yang tidak wajar dari mbah Samin. Dia menengarai jika leluhur Sedulur Sikep itu adalah seorang santri.

“Tidak apa-apa. Prinsipnya ajaran Sikep ini sama persis dengan Islam. Mereka juga sahadat, salat, punya sanggar. Mbah samin itu juga Santri tapi dalam kasta sosial petani yang buta huruf,” serunya tengah pekan lalu itu.

Sosok santri yang melekat pada mbah Samin itu dipegang hingga tersebarnya keyakinan yang diyakinininya. Dia juga menyebut istilah Samin Surosentiko sebagai santri yang kuat.

Baca Juga  Peringati Nyepi, Pemuda Hindu Mempermuda Diri

“Samin itu secara harfiah artinya gemuk. Samin itu sama persis dengan Tarekat Tsamaniah yang ada di Aceh,” serunya.

Meski dianalogkan berbeda, orang Sikep ternyata meyakini nama mereka berbeda-beda. Menurut Sudarmo, sesepuh Sedulur Sikep Kudus setempat, yang benar adalah istilah Wong Sikep, bukan Sedulur Sikep ataupun Samin. Penyebutan Sedulur Sikep hanya sebatas pada kebiasaan sehari-hari para penganut Sikep.

“Sedulur Sikep itu pakulinan (kebiasaan). Penyebutan nama-nama yang penting jangan nglarani atine wong liya (menyakiti perasaan orang lain),” timpal Sudarmo.

Dia pun yakin dengan pendapatnya, yang benar menyebut komunistasnya adalah Wong Sikep. Bukan Sedulur Sikep atau Samin. [elsa-ol/Nazar-@nazaristik/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini