
[Semarang –elsaonline.com] Ada yang menarik dalam rutinitas jam’iyah yasinan di Kelurahan Randusari Semarang. Jam’iyah yang diikuti oleh 15 orang perempuan itu ada di antaranya seorang waria bernama Silvi Mutiari. Silvi, yang punya nama asli Muhammadin, dengan khusyuk melantunkan asma’ul husna, tahlil, dan bacaan-bacaan lain yang menjadi amaliyah warga nahdliyin. Suara Silvi mengalun dengan indah, fasih, dan tanpa melihat teks. “Saya hafal seperti ini karena sejak kecil ikut jam’iyahan terus,” ujarnya.
Menurutnya malam jum’at harus dimanfaatkan sebaik mungkin dengan berbagai ritual keagamaan supaya dalam menjalani hari-hari berikutnya tidak mengalami kekeringan spiritualitas. “Jum’at itu buat ngeces hati biar semangat lagi dalam beribadah. Sabtu, Minggu, Senin, biasanya masih semangat. Tapi nanti kalau sudah mulai hari Selasa, Rabu, Kamis, sudah malas, ada yang bolong ibadahnya. Nah, malam Jum’at kita semangati lagi hati kita melalui jam’iyahan,” ujar waria yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Walisongo.
Dalam jam’iyah yasinan yang dipandu oleh kakak perempuan kandung Silvi terlihat semuanya perempuan berusia di atas 40 tahun, kecuali Silvi, waria. Silvi mengenakan hijab berwarna hijau. Jam’iyah ini dulu dipimpin oleh ibu kandung Silvi, setelah ibunya meninggal dipimpin oleh kakak kandung Silvi. “Setelah ibu meninggal, jamaah minta supaya ngajinya terus diadakan. Jadi kakak saya yang pegang. Tapi kalau kakak saya berhalangan, seumpama ada acara, maka saya yang memandu pengajian,” jelas Silvi.
Semua jama’ah terlihat biasa dalam memperlakukan Silvi, yakni diperlakukan layaknya perempuan lainnya dalam jam’iyahan. “Tidak ada yang mempersoalkan saya, semuanya baik-baik saja. Orang-orang sudah tahu kalau saya begini (waria). Kalau ketemu dijalan juga nyapa, hai mba mau kemana. Bahkan kalau saya mau berangkat sholat jum’at pakai sarung dan peci orang-orang tetap memanggil saya mba Silvi,” paparnya.
Dalam menjalankan sholat lima waktu Silvi mengenakan pakaian lelaki, sarung, baju takwa, dan peci. Tapi dalam berjam’iyah dan interaksi sosial lainnya Silvi memakai pakaian perempuan. “Kalau hablum minallah saya pakai sarung dan peci, kembali ke asal saya, laki-laki, karena sejak kecil saya disuruh ibu kalau sholat ikut di shof laki-laki. Tapi kalau dalam hablum minan nas saya pakai seperti ini,” jelasnya sembari menunjukkan busana muslimah yang dikenakannya.
Ketika ditanya soal inkonsistennya dalam berpakaian, Silvi menjawab hal itu berkaitan dengan kenyamanan hatinya. “Sejak kecil saya kalau sholat pakai sarung, belajar ngaji juga diikutkan ke laki-laki. Jadi tidak nyaman kalau harus pindah pakai mukenah. Tapi sebaliknya kalau berinteraksi sosial saya lebih nyaman pakai seperti ini (pakaian perempuan, red),” ungkapnya.
Di samping aktif dalam pengajian yasinan di rumahnya, Silvi juga mengikuti pengajian-pengajian lain yang diikuti oleh ibu-ibu di daerahnya. Namun karena dalam jam’yah lain pernah ada yang mempersoalkan status kelaminnya, Silvi memilih berhenti demi menjaga kerukunan. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88]