[Semarang –elsaonline.com] Sejak dasawarsa 1970an dibentuklah wadah untuk menampung gerja-gereja Pentakosta di Indonesia melalui Dewan Pentakosta Indonesia (DPI). Sejak 1998, mereka berubah nama menjadi Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) dengan pemrakarsa utama, GpdI (Gereja Pantekosta di Indonesia). (baca juga artikel sebelumnya)
Selain masuk dalam keanggotaan DPI, banyak juga gereja Pentakosta yang masuk wadah Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI)/Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) sejak akhir dasawarsa 1950an. Tercatat ada delapan gereja yang masuk ke DGI/PGI antara lain, Gereja Isa Almasih (GIA), Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Gereja Pantakosta Pusat Surabaya (GPPS), Gereja Gerakan Pentakosta (GGP), Gereja Bethel di Indonesia (GBI), dan Gereja Tuhan di Indonesia (GTdI). Selain dalam PGI atau DPI, banyak pula yang bergabung dalam Persekutuan Injili Indonesia (PII). “Pada tahun 1993, diantara 68 anggota PII, sekurang-kurangnya 20 masuk rumpun Pentakosta,” tulis Jan Aritongang dalam Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja.
Secara historis, GIA tidak bisa dilepaskan dari nama Tan Hok Tjoan, sang pendiri gereja ini. Tan Hok Tjoan adalah jemaat GPdI yang kemudian memutuskan keluar dari gereja tersebut. “Tan bersama Goei Swan Tong, Tan Sien Kie, Tan Sien Kiong serta lainnya adalah pendiri GIA,” kata Indrawan Eleeas dalam Gerakan Pentakosta Berkaitan dengan Sejarah dan Teologia Gereja Isa Almasih.
Eleeas menambahkan bahwa perjumpaan Tan dengan tradisi Pentakosta terjadi di Surabaya ketika Gereja Pinkster mengalami perkembangan pada sekitar tahun 1928 pimpinan Van Gessel. Tan Hok Tjoan merasa tertarik untuk belajar Alkitab dari apa yang diajarkan oleh Van Gessel yang ternyata mahir berkhotbah dan cakap mengajarkan Kitab Suci. Pada tahun itu pula, Tan menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Setelah itu, Tan kemudian melibatkan diri pada kegiatan pelayanan-pelayanan. Kedekatan Tan dengan van Gessel sudah tidak diragukan lagi, merekalah yang bahu membahu mendirikan GIA atau Sing Ling Kauw Hwee.
Pada tahun 1943, kata Eleeas, Tan dipindahkan tugasnya sebagai pegawai Bea Cukai ke Semarang. Selain bekerja, Tan juga aktif di Gereja Pentakosta di Indonesia jalan Peterongan di bawah penggembalaan Pdt. Harnung. Tahun 1944, pemerintah Jepang menghentikan kegiatan Pdt. Harnung dan pelayanan GPdI. Meski Pdt. Harnung “ditahan”, tetapi kegiatan pelayanan GPdI di Semarang, tetap berjalan dengan bimbingan SIP Lumoindong yang pada saat yang sama, juga melayani di Jogjakarta.
Ketika revolusi berkecamuk, kekhawatiran dan kebingungan melanda hampir semua lapisan warga masyarakat, tak terkecuali jemaat GPdI yang keturunan Tionghoa. Untuk memenuhi dahaga spiritual, mereka kemudian membentuk persekutuan doa yang diselenggarakan di rumah Tan Hok Tjoan di jalan Taman Brumbungan nomor 6, yang pada perkembangannya, rumah ini digunakan sebagai sekretariat perhimpunan Sing Ling Kauw Hwee. Persekutuan itu kemudian dikenal dengan nama “Persekutuan Doa Brumbungan.” Tujuan persekutuan doa itu adalah untuk keamanan kehidupan di Indonesia berhubung negara yang dijajah Jepang dan berkecamuknya Perang Dunia II.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 18 Desember 1945, persekutuan doa di Traman Brumbungan dipindahkan karena tak lagi sanggup menampung jumlah anggota yang semakin membengkak. Tan Hok Tjoan diberi pinjaman gedung bioskop yaitu Gedung Lux di jalan Seteran. Gedung tersebut kemudian digunakan oleh kurang lebih 67 orang anggota persekutuan doa. Persekutuan itu kemudian berubah menjadi ibadah layaknya sebuah gereja yang kemudian dinamakan Perhimpunan Sing Ling Kauw Hwee. Kauw Hwee mengandung arti perhimpunan, sementara Sing Ling berarti Roh Kudus.
Dengan menggunakan nama Sing Ling Kauw Hwee, Tan bermaksud untuk menjadikannya sebagai identitas ketionghoaan. Sementara Sing Ling yang berarti Roh Kudus, dimaksudkan sebagai upaya untuk meneguhkan jati diri mereka sebagai bagian integral dari tradisi Pentakosta. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]