Rasa itu Tidak Bisa Diadili

Teguh Wibowo
Teguh Wibowo
[Semarang –elsaonline.com] Perbedaan itu pasti. Dalam memandang perbedaan kita harus memakai hati nurani, setiap orang memiliki rasa, dan rasa itu berbeda-beda. Agama itu soal rasa makanya manusia memiliki agama yang berbeda-beda.

Hal itu disampaikan oleh Teguh Wibowo (33) disela-sela acara Paralegal Bagi Penghayat Kepercayaan Se Jawa Tengah yang diadakan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) di Hotel Simpang Lima Resident beberapa waktu lalu.

Menurut penganut kepercayaan Mardi Santosaning Budhi (MSB) asal Temanggung itu, dalam melihat keberagaman agama harus menggunakan rasa, tidak boleh menggunakan akal pikiran, sehingga seseorang bisa memaklumi rasa yang dimiliki orang lain yang berbeda dengan dirinya. “Kalau masalah ruhani jangan menggunakan pola pikir, tapi menggunakan rasa, dan rasa itu tidak bisa diadili. Suara hati tidak bisa bohong, itu panggilan murni,” paparnya.

Cucu dari Mbah Sudijana Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Kabupaten Temanggung ini walaupun menganut kepercayaan tapi dirinya berbeda dengan kakeknya. Perbedaan itu terletak pada kemurnian agama yang dianutnya. Jika Mbah Sudiyo menjadikan MSB sebagai agama yang dipeluknya dan tidak merangkap dengan agama lain, Teguh menjadikan MSB sebagai agama yang dipadukan dengan agama Islam.

“Saya menjadi penghayat sekaligus beragama Islam. Islam saya Islam kejawen, beda dengan mbah saya, mbah saya penghayat murni. Agamanya ya MSB itu, tapi kalau saya Islam kejawen,” tutur pria yang pernah pertapa di beberapa Goa di tanah Jawa itu.

Masih menurut Teguh, manusia adalah sumber kekuatan utama dalam menciptakan kehidupan yang damai. Baginya, persoalan agama dan budaya adalah hasil cipta manusia, sehingga manusia harus bisa mengelolanya dengan baik supaya tidak membawa kekacauan. “Kita sebagai manusia yang mengolah. Agama, kebudayaan, adat istiadat, harus kita yang mengolah, bukan kitanya yang diolah. Jadi, jika ada orang melakukan kekerasan dengan alasan perintah agama itu salah, karena manusia yang harusnya mengolah agama. Jadi ajaran agama ingin seperti apa itu tergantung manusianya. Kita memilih A benar, B benar, itu tergantung kita,” pungkasnya. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88]

Baca Juga  Pendiri eLSA Jadi Profesor di Saudi
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini