Tak Mau Dialog, Seorang Perempuan Tanya Istri Kepada Rohaniwan Katolik

Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abu Hapsin, Ph.D
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abu Hapsin, Ph.D
[Semarang, elsaonline.com]- Suatu ketika ada acara kunjungan tokoh lintas agama. Di tempat itu semua makan. Usai acara, makanan yang disajikan sisa banyak. Akhirnya tuan rumah membungkus makanan untuk diberikan kepada para tamu yang datang dari berbagai latar belakang agama yang berbeda. Kepada Romo Budi (Aloys Budi Purnomo, rohaniwan Katolik, red) ibu pemilik rumah memberikan satu bungkus makanan sambil mengatakan, ‘ini buat ibu (istri, red) di rumah.’ Sebagian tertawa, dan Romo bingung.

Cerita itu disampaikan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abu Hapsin, Ph.D dalam diskusi dengan tema ‘Cinta Menembus Batas, Melayani Tanpa Pamrih, Harmoni dalam Perbedaan’ yang diselenggarakan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Jawa Tengah di Aula lantai 15 Semarang Town Square (Setos) Jl Petempen 294 Gajahmada Semarang, Senin (22/02/16).

Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abu Hapsin, Ph.D
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abu Hapsin, Ph.D

Kiai Abu menjelaskan, bahwa orang yang tidak mau berdialog dengan pemeluk agama lain maka besar kemungkinan ia tidak akan mengetahui tentang ajaran atau keadaan orang lain, sebagaimana ibu pemilik rumah tadi yang menganggap rohaniwan Katolik memiliki istri sebagaimana rohaniwan Islam.

“Itu salah satu contoh konkrit orang yang tidak pernah dialog, akan terjadi mispersepsi, dan yang lainnya,” katanya.

Karena itu, menurut Kiai Abu, supaya antar umat beragama tidak salah paham, dan tidak saling curiga, maka harus saling mengenal atau berdialog. Kalau sudah saling mengenal maka kerukunan dapat tercipta.

Mengenali pemeluk agama lain tidak harus dengan dialog yang memperdebatkan teologi atau ideologi, tapi bisa dengan perwujudan bakti sosial atau dialog dalam bentuk aksi seperti mengadakan jalan sehat lintas agama.

“Saya pernah mengadakan jalan sehat lintas agama. Saya kira, jalan sehat lintas agama, jalan sehat lintas iman, jalan sehat lintas etnis perlu dilakukan. Dan saya kira ini harus dimunculkan di media. Karena itu dialog praktis. Itu bisa mencairkan kekakuan hubungan antar umat beragama,” paparnya.

Baca Juga  Aidit pun Mengagumi NU

Menurut Ketua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah periode 2009-2013 itu, satu-satunya cara untuk mencairkan kekakuan antar umat beragama yang belum saling mengenal yaitu dengan berdialog.

“Sekali lagi, saya kira cara-cara dialog aksi seperti ini sangat bagus untuk menembus kekakuan dan untuk menembus batas, baik batas antar agama dan batas iman. Oleh karena itu saya kira, cinta menembus batas harus dimulai dengan dialog, dialog aksi, jalan sehat bareng, sepak bola, main volly bareng, dan bentuk dialog aksi lainnya,” tambahnya. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini