
Berikut ini hasil wawancara reporter elsaonline.com, M. Nasrudin dengan Abu Hapsin, Ph.D, penasehat dan Dewan Pendiri eLSA tentang makna Idul Fitri.
Lebaran biasa diartikan sebagai hari kemenangan. Mengenai hal ini, Bapak ada komentar?
Kalau idul fitri atau lebaran diartikan sebagai kemenangan itu memang iya. Dari asal bahasanya saja, îdul fithri itu ‘kan “kembali kepada fitrah manusia”. Yang harus dipertanyakan, kenapa lebaran diartikan sebagai kemenangan umat Islam untuk kembali kepada fitrah?
Kalau dilihat dari keseluruhan rangkaian kewajiban puasa, jelas sekali puasa itu ‘kan ditujukan agar umat Islam kembali kepada asal kejadian atau dalam bahasa agama disebut fithrah. Asal kejadian manusia itu apa? Kalau kita lihat dari al-Quran, jelas bahwa manusia itu dalam pengertan haqiqi bukan jasad. Kalau saya katakan bahwa Abu Hapsin itu yang seperti ini, punya wajah seperti ini, ini bentuk fisik saja!. Boleh saja wajah ini dirombak dengan operasi plastik. Tapi sebenarnya, hakekat Abu Hapsin tetap melekat pada saya meskipun jasadnya berubah. Oleh karena itu, fitrah manusia tidak terkait pada bentuk fisical manusia, itu terkait dengan jiwa.
Kalau memang demikian, Quran sudah menjelaskan, bahwa dalam diri manusia ada ruh Allah. Faidza sawwaitu. Saat Allah menciptakan Adam —kita semua, Ia menyempurnakan fisik manusia. Mungkin saja penyempurnaan fisik ini seperti evolusi Darwin. Terlepas dari kontroversi semua. Kemudian, dikatakan wanafakhtu fihi min ruhi. Kami tiupkan dalam jiwa Adam sebagian dari “ruh”. “Ruh” atau “nurani” inilah yang akan selalu menjadi controller bagi tindakan yang dilakukan manusia. Ketika manusia akan berbuat yang membahayakan, sebetulnya nurani atau hati kecilnya berontak. Tapi, kadang nurani ini terkotori, terkontaminasi.
Allah menjadikan puasa ini satu bulan penuh untuk membersihkan kotoran itu semua. Agar ruh itu bersih dan bisa berfungsi kembali sebagai alat kontrol. Nah, kalau hati itu sudah bisa berfungsi lagi menjadi kontrol. Itulah yang sebenarnya keaslian manusia. Maka idul fitri itu artinya manusia kembali kepada fitrah manusia, yakni diimbangi oleh ruh pengontrol, semacam spitritual safety nett (jaring pengaman spiritual).
Ketika selesai menjalankan puasa satu bulan dengan îmânan wahtisâban, sebagaimana dalam hadits, maka sebenarnya tidak hanya ghufira lahu mâ taqaddama min dzambihi. Tapi akan ada kemenangan yang luar biasa, di mana umat manusia muslim akan kembali dalam kesadaran yang penuh bahwa dirinya adalah agen (khalifah) Allah di muka bumi yang akan selalu berjalan dan bertindak sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Maka, idul fitri adalah kembali kepada akar kejadian manusia yang berawal dari ruh Tuhan.
Orang yang menyelesaikan puasa dengan îmânan wahtisâban, saya kira wajar kalau ia akan mendapatkan kemenangan. Idul fitri adalah hari raya kemenangan umat Islam untuk kembali kepada fitrah. Idealnya seperti itu. Kalau masih ada korupsi dan kejahatan meraja lela di mana-mana, itu karena puasa mereka gak bener. Sarana puasa tidak bisa menjadi pembersih agar kembali kepada asal kejadiannya.
Kata lebaran dalam bahasa Jawa diartikan sebagai “sudah”, “selesai”, “tidak punya apa-apa”. Ada yang kemudian menafsirkan bahwa lebaran adalah sudah bebas dari kungkungan dan kekangan puasa. Bagaimana ini?
Yang paling cocok, pengertian lebaran itu lebar, bebas, yakni terbebas dari dosa dan sifat yang kotor, seperti tujuan yang saya ucapkan pada awal tadi. Bukan dari kungkungan puasa yang tidak boleh makan dan minum, kemudian ketika lebaran bisa makan sekenyang-kenyangnya. Saya kira, orang tua dulu dalam memaknai ‘id sebagai lebaran ada arti yang nyambung, dengan idul fitri sebenarnya. Lebaran artinya pembebasan dari dosa dan segala bentuk kotoran, kotoran jiwa terutama. Itulah makna lebaran yang sesuai dengan makna hakiki idul fitri.
Di surat kabar sering terdengar bahwa ketika mendekati lebaran, grafik kejahatan makin meningkat. Di Kudus misalnya hampir semua toko emas sampai harus dijaga polisi. Idealnya, puasa itu ‘kan menjaga diri dari berlaku yang tidak baik. Kemudian, yang terjadi malah sebaliknya. Mengapa seperti ini?
Barangkali kalau boleh dikatakan, itu merupakan dampak negatif dari sebuah institusi dalam budaya kita, budaya Melayu—di Malaysia sama seperti kita, ada tradisi mudik, dsb. Perlu diingat! Ini adalah budaya. Bahwa lebaran lebih merupakan pesta hura-hura, itu adalah dampak negatif. Ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh Islam.
Kalau dilihat dari asal mula Islam lahir, Idul Fitri tidak seperti seperti di kita ini. Fenomena lebaran yang sangat ramai, glamour, luxurious, saya kira itu budaya Melayu yang kemudian punya dampak negatif. Itu perlu dibedakan!. Karena sering kali, lebaran dijadikan ajang untuk show off, pamer. Harus pakai baju baru, kalau orang merantau, harus memaksakan diri harus bawa kendaraan mewah, biar katakan sukses.
Tetapi, tradisi mudik, merayakan lebaran, mengunjungi sanak famili, meski itu budaya lokal (local wisdom) saya kira itu sangat Islami dan perlu dilestarikan. Tapi, setiap tindakan, ada dampak negatif yang harus dijaga. Saya yakin, kalau orang melakukan puasa dengan betul, lebaran tidak akan dimaknai sebagai ajang show off, pamer. Kalau ada tradisi mudik, mudik akan dimaknai sebagai silaturrahmi, terlebih kepada orang tua, kerabat, sanak famili.
Mestinya, kita sendiri bisa mengatasi dampak negatif itu. Saya yakin, kalau puasanya baik— ingin mensucikan diri dari sifat riya—, tidak mungkin mereka yang merantau ke Jakarta kemudian memaksakan diri untuk pamer kesuksesan.. Memang, setiap kebijakan yang diinstitusikan menjadi tradisi pasti ada dampak negatif. Dampak ini lahir akibat mereka tidak puasa seperti yang diidealkan oleh al-Quran dan sunnah. [elsa-ol/Nas]
penjelasan di atas merupaan penjelasan yang harus diterima, kita sebagai umat islam harus merayakan lebaran, karena lebaran merupakan hari kemenangan bagi kita muslim yang telah melakukan peperangan terhadap hawa nafsu, baik nafsu makan, minum, dan lain sebagainy yang dapat menjadikan batalnya puasa. bahkan dalam hadits sendiri di terangkan ada 2 kebahagiaan bagi orang yang berpuasa:
1. ketika kita kembali menjadi suci
2. nanti saat kita berjumpa pada Tuhan Pencipta Alam.
tapi di lain halnya kita juga dilarang melakukan kegiatan yang berlebihan, apalagi dalam suasana yang suci itu digunakan untuk maksiat yang ada pada waktu sekarang, malam hari raya digunakan sebagai ajang pesta MIRAS, Judi, mabuk, dll, itu merupakan hal-hal yang kotor. kalau sdudah seperti itu dari mana kembalinya kesucian diri kita ini, berarti aspek kebahagiaan yang pertama hilang, dengan adanya pesta miras tersebut. tapi yang perlu diingat, orang yangdapat merayakan suatu kemenangan ya hanya orang yang perang itu tadi, puasa aja tidak, bagaimana dapat meraih kefitrian itu?