Pesta “Dugderan” Sambut Ramadhan Di Kota Semarang

[Semarang –elsaonline.com] Pesta menyambut bulan Ramadhan di Kota Semarang secara khusus dimeriahkan secara besar-besaran. Pawai kayu warak menjadi penanda perayaan, yang diarak di sepanjang jalur-jalur besar di Kota Semarang.

Parayaan dimulai semejak pagi Jum’at (27/6) pagi di Lapangan Pancasila Simpang Lima Semarang, hingga sore harinya berakhir di Masjid Agung Semarang. Pemerintah pun turut memberi perhatian tradisi itu karena sudah tiap tahun berjalan. Tradisi penyambutan ini kerap disebut “Dugderan.”

Nama Dugderan diambil dari bunyi bedug yang ditabuh Bupati Semarang dan suara meriam saat memasuki bulan Ramadhan. Diceritakan, bedug dan meriam dibunyikan ketika bupati mengumumkan awal bulan Ramadhan. Inilah cerita lisan.

Tradisi penyambutan Dugderan ini terpusat di kompleks Masjid Agung Semarang, atau tersentral di Kawasan Pasar Johar Semarang. Beragam aneka pernak-pernik, aneka permainan hingga aneka kebutuhan disediakan dengan harga yang telah diberi potongan khusus.

Selain dalam wilayah diskon dugderan, perayaan menyambut Ramadhan dipersiapkan dengan baik. Sekurangnya, 8 ribu peserta dari berbagai instansi kependidikan ikut beratraksi dan menari.

Usai karnaval mengeliligi kota, rangkaian pesta dengan karnaval Dugderan yang dipusatkan di Balai Kota Semarang. Untuk membedakan kekhasan dengan tradisi di tempat lain, pembukaan dimulai dengan upacara berbahasa Jawa.

Walikota Semarang, Hendrar Prihadi dalam bahasa karnaval Dugderan disebut Kanjeng Bupati Raden Mas Tumengung Arya Purbaningrat. Sang Tumenggung, kemudian memukul bedug sebagai tanda bahwa acara pesta dugderan telah dimulai.

Maskot Dugderan terus dijaga, boneka kayu dan Warak Ngendhog. Puluhan bahkan ratusan boneka Warak Ngendhog dari berbagai ukuran dibawa oleh peserta. Jumlah pesertanya mencapai 6 ribu orang.

Selain maskot Warak, maskot menarik lain bagi warga adalah Kembang Manggar. Ia adalah hiasan dari sapu lidi yang dihiasi kertas warna-warni. Bahkan warga berebut untuk mendapatkan hiasan itu saat peserta karnaval melintas.
“Saya sudah tunggu dua jam sejak tadi. Bagus sekali, semoga tahun besok lebih meriah,” kata Burhan, salah satu warga, Jumat (27/6).

Baca Juga  Terdiskriminasi, Perempuan Sapto Darmo Terpaksa Berkerudung

Sekertaris Takmir Masjid Agung Semarang, Muhaimin mengaku pelaksanaan Dugderan 2014 berbeda dari tahun sebelumnya. Jika sebelumnya dimulai pada sore hingga petang hari, sehingga kerap bertabrakan waktu Sholat Jumat dan Ashar.

“Ini tradisi untuk menyambut bulan Ramadhan, Kalau puasanya kita tetap mengikuti pemerintah,” paparnya. [elsa-ol/nurdin-@nazaristik]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini