Mudik dan Lebaran Sebagai Pribumisasi Idul Fitri

[Semarang –elsaonline.com] Idul Fitri menyimpan banyak cerita. Salah satunya adalah mudik. Muhammad Guntur Romli aktivis di Komunitas Salihara Jakarta mengatakan mudik berasal dari kata udik alias kampung, desa. Dengan begitu, mudik berarti pulang ke desa atau kampung halaman, tempat asli dimana kita dilahirkan. “Dimana kita terlahir dalam kesucian, menikmati masa kanak-kanak, dimana kepolosan, kesucian, keikhlasan, yang merupakan asal-muasal kita, disana kita kini berpulang,” terang penulis buku Islam Tanpa Diskriminasi kepada elsaonline, Jumat (25/7).

Kesucian, kata Guntur, dalam bahasa Arab disebut fitrah. “‘Aidul Fithri berarti pulang ke fitrah, kesucian dan asal muasal. Maka, mudik merupakan pribumisasi dari Idul Fitri. Kita pulang pada masa dan era di mana kita masih suci dan polos,” tambah suami dari Nong Darol Mahmada itu.

Selain mudik, yang khas dari Idul Fitri adalah lebaran. Ini juga semacam pribumisasi Idul Fitri, laiknya mudik. Masyarakat Indonesia sering menyebut Idul Fitri sebagai lebaran. Aan Anshori Koordinator Gusdurian Jawa Timur mengatakan lebaran sangat mungkin berasal dari kata bahasa Jawa “lebar” dengan huruf ‘e’ dibaca seperti kata “pelatih”, artinya “habis” atau “kosong”. “Semua entitas yang terlibat di dalamnya mengakui bahwa lebaran adalah kesediaan untuk saling memaafkan; bertemu dalam rangka mengosongkan kesalahan masing-masing,” terang Aan.

Dalam situasi seperti itu, maka semua kembali dalam satu semangat kembali ke fitrah semula; sebagai manusia. “Pada momentum tersebut, saya merasa tiap orang bisa saling bergumul tanpa ada sekat maupun prasangka berbasis identitas keagamaan. Manusia dihargai karena kemanusiaannya an sich tanpa embel-embel,” terang aktivis Jaringan Islam Anti Diskriminasi atau JIAD tersebut.

Ayah dua anak itu juga menambhakan bahwa dalam Idul Fitri atau lebaran, tak ada dendam, syak wasangka, apalagi niatan menghakimi. “Sayangnya, momentum indah itu cepat habis (lebar). Meski tak mudah, adalah tugas kita memanggul momentum indah tersebut untuk diteruskan hingga lebaran tahun depan menjelang,” harap Aan.

Baca Juga  Pengutamaan, Salah Satu Bentuk Diskriminasi

Dalam konteks kekinian, lebaran atau idul fitri juga bermakna rekonsiliasi. Tanggal 9 Juli lalu, bangsa Indonesia menggelar hajat besar yakni pemilihan presiden. Ada perbedaan pilihan politik, bahkan diantara keluarga sendiri. Rahayu Purwaningsih, aktivis di Solidaritas Perempuan untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM)-Surakarta, memaknai Idul Fitri tahun ini dalam konteks demikian. “Makna lebaran kali ini buat saya adalah saatnya berdamai dengan saudara, teman dan tetangga yang renggang karena berbeda pilihan politik akibat pilpres kemarin,” ucap Ayu, panggilan akrab Rahayu. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini