Wahid Foundation Luncurkan Buku Mitigasi Intoleransi di Sekolah

Semarang, elsaonline.com – Wahid Foundation (WF) menerbitkan buku tentang protokol pencegahan intoleransi di sekolah. Lembaga yang didirikan mendiang Gus Dur ini meluncurkan buku SEMAI (Sekolah Merdeka Intoleransi) untuk dijadikan dasar rekomendasi bagi pemangku kebijakan.

Peneliti Senior Wahid Foundation Alamsyah M Djafar, mengatakan SEMAI merupakan bagian dari refleksi program sekolah damai yang sudah berjalan sejak tahun 2017 lalu. Menurutnya, berkenaan dengan intoleransi di lingkungan sekolah harus mengedepankan pencegahan daripada penindakan.

“Kami memilih pencegahan, karena saat ini sekolah menjadi medan intoleransi. Sehingga dengan adanya protokol pencegahan, kami mendorong supaya sekolah membuat kebijakan antisipasi intoleransi,” katanya, pada diskusi publik sekolah merdeka intoleransi: protokol pencegahan intoleransi di lingkungan sekolah, Jumat 26 Maret 2021.

Saat ini, lanjut Alamsyah, banyak program untuk sekolah berkaitan dengan penanaman nilai-nilai toleransi di sekolah. Namun yang kurang adalah dorongan kepada yang berwenang untuk membuat sebuah kebijakan. Karena itu, WF menerbitkan protokol supaya menjadi panduan bagi sekolah ketika mendapat aduan kasus intoleransi.

“Protokol ini menjadi panduan mekanisme laporan supaya kasus cepat ditangani sehingga tidak semakin meluas. Jadi tujuannya bukan hukuman, tapi supaya kasus tidak meluas dan berkembang. Dalam protokol ini kami juga menekankan pada kepentingan kelompok rentan supaya terlindungi, seperti kelompok minoritas, difabel, perempuan,” terangnya.

Calon Kepsek Radikal

Dirjen Paud Dikdasmen (pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah) Jumeri yang juga menjadi narasumber, mengapresiasi terbitnya buku SEMAI itu. Ia berharap, WF memberikan rekomendasi resmi secara tertulis dan disampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Jumeri bercerita, bahwa kasus intoleransi di sekolah bukan cerita belaka. Ideologi intoleran bukan saja menyusup pada siswa, tapi juga merambah ke kepala sekolah. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus intoleransi di sekolah.

Baca Juga  Mantapkan Program Kerja Sekolah Damai, Wahid Foundation Ajak Rembug Komunitas dan Lembaga Pendidikan

“Kebetulan saya pernah mengelola beberapa pendidikan di Jateng. Adanya berita bahwa kepala sekolah intoleran (di Jateng), sebetulnya bukan kepala sekolah, tapi calon kepala sekolah. Dan kalau di berita tujuh, tapi sebetulnya (malah) ada 10 calon kepala sekolah,” bebernya.

Atas adanya dugaan calon Kepsek terpapar radikalisme, Pemprov Jateng langsung melakukan skrining. Mereka calon-calon kepala sekolah yang akan diangkat menjadi kepala sekolah diberikan pengarahan.

“Kami menemukan ada 10 kepala sekolah yang diduga terpapar radikalisme. Kami melakukan penundaan dan kami melakukan pembinaan semacam deradikalisasi. Kalau mereka bisa kembali ke jalur (pemahaman keagamaan) yang benar kita beri kesempatan untuk berkarir. Ini bagian dari upaya kami untuk mitigasi intoleransi di sekolah,” tegasnya.

Posisi Penting

Mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng ini menambahkan, kepala sekolah mempunyai posisi penting dalam satuan pendidikan. Hematnya, jika kepala sekolahnya bersih dari ideologi intoleran-radikal, maka akan mudah untuk melakukan deradikalisasi di sekolah.

Berkaitan dengan sergam di sekolah, lanjut Jumeri, pihaknya sudah menerbitkan aturan SKB tiga menteri. Pada mulanya SKB 3 menteri banyak mendapat tekanan atau penolakan. Namun Kemendikbud juga mendapat dukungan lebih banyak daripada yang menolak.

SKB yang yang dimaksud Jumeri adalah SKB tentang ketentuan seragam di sekolah. SKB ini ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

“Yang menekan sedikit tapi yang mendukung sangat banyak (adanya SKB 3 Menteri). Ini ada masyarakat yang melintir bahwa SKB 3 menteri ini melarang siswa untuk berjilbab, padahal tidak. Yang benar itu, sekolah tidak boleh mewajibkan jilbab dan sekolah juga tidak boleh melarang siswa yang ingin berjilbab. Jadi mewajibkan tidak boleh, melarang juga tidak boleh,” pungkas Jumeri

Baca Juga  Soal Intoleransi, Kepala Disdikbud Jateng; Kita Jangan Seperti Pemadam Kebakaran

Kepala Seksi Penelitian pada Kementerian Agama Dr Anis Masykur juga mengapresiasi apa yang sudah dilakukan WF dalam pengembangan sekolah damai. Anis yang juga menjadi narasumber pada diskusi itu merasa terpacu untuk melaksanakan program di kementerian agama tentang penguatan toleransi.

“Diskusi ini sekaligus mengingatkan kami di Kementerian Agama untuk menindaklanjuti satu kebijakan untuk penyusunan protokol penguatan toleransi pada mata pelajaran pendidikan agama Islam. Kami tidak menggunakan istilah yang sama dengan Wahid Foundation, tapi sebetulnya spiritnya sama,” tuturnya. Fadli

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini