Agama Baha’i Masih Terdiskriminasi

bahai[Semarang -elsaonline.com] Kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Keragaman Indonesia tidak saja tercermin dari banyaknya pulau yang dipersatukan dibawah kekuasaan satu Negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis, agama dan budaya. Agama minoritas, bahkan agama Baha’i sekalipun yang belum begitu populer di Indonesia, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang tetap akan lestari. Hal tersebut disampaikan Moh. Rosyid, dalam acara bedah buku “Agama Baha’i” yang dihelat di Balai Litbang Agama Semarang, Rabu, (18/11).

“Agama Baha’i di Indonesia, terkhusus di Jawa Tengah belum banyak dikenal oleh masyarakat. Namun, sekalipun agama Baha’i ini tergolong minoritas sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang tetap akan lestari,” ucapnya.

Menurut Rosyid, yang juga alumnus IAIN (sekarang UIN) Walisongo Semarang ini, penelitian dalam bukunya menitikberatkan pada keberadaan mukmin Baha’i yang berkembang di Desa Cebolek Kidul, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah ini merupakan semangat kajian berkelanjutan dalam cara pandang keilmuan.

“Hasil riset ini merupakan pembelaan bagi siapa saja, baik kaum mayoritas maupun minoritas, bila hak dasarnya sebagai warga Negara tidak dipenuhi oleh Negara atau diganggu oleh publik. Dalam hal ini, Agama Baha’i yang juga merupakan warga Negara Indonesia berhak mendapatkan perhatian dan perlindungan Negara,” kritik pria kelahiran Demak ini.

Dalam kesempatan yang sama, Suliyono selaku perwakilan mukmin Baha’i mengatakan bahwa kerap mendapatkan diskriminasi dari institusi Negara, dalam hal ini pendidikan.

“Kami sering mendapatkan diskriminasi, terutama kepada anak-anak kami yang sedang mengemban sekolah. Anak-anak kami dipaksa untuk mengikuti pelajaran salah satu Agama resmi, kalau tidak mereka tidak naik kelas,” ucap Suliyono sembari menangis.

Baca Juga  Politik Pengawasan dalam Revisi UU Kejaksaan

Dirinya berharap, pemerintah maupun masyarakat pada umumnya dapat memposisikan mukmin Baha’i setara dengan penganut agama lainnya. Selain itu, harapan ia juga dikukuhkan dengan memenuhi undangan untuk hadir di forum tersebut.

“Kami ingin diposisikan setara dengan penganut agama yang lain. Kami datang ke sini dengan membawa hati penuh harapan. Harapan atas pengakuan masyarakat dan pemerintah tentang keberadaan kami,” pungkasnya. [elsa-ol/@cahyonoanantatoer-Cahyono/003]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini