Berhala Tuhan

Oleh: Ahmad Fauzi

sumber: navindutta.com
sumber: navindutta.com

Seandainya tuhan itu tidak ada, maka kita perlu menciptakannya.
(Francois de Voltaire: 1694-1778)
Tuhan  adalah manusia dalam dirinya sendiri.

Kita cenderung memberhalakan tuhan daripada mengetahui dan menyembah dengan sebenarnya. Itu lah komentar Karen Amstrong terhadap konsepsi tuhan yang selama ini diyakini dan disembah oleh umat manusia dalam sejarah. Tuhan kaum Sumeria (El) adalah tuhan yang menyapa Ibrahim layaknya manusia yang berbicara dan berkata-kata. El bertemu dengan Ibrahim dalam rupa manusia yang betul-betul membumi. Tuhan menyejarah. Konsep ini kemudian diwariskan dalam tradisi Kristen, yaitu Yesus sebagai perwujudan tuhan yang mendaging dalam sejarah.

Konsepsi tuhan di atas memiliki nilai lebih karena mudah dipahami oleh intelek masyarakat awam yang tidak bisa menjangkau konsep tuhan yang terlalu abstrak dan teoritis, (transenden). Dengan kehadiran tuhan yang sepenuhnya manusiawi, ia lebih bisa didekati, dikenal, dan dihayati. Hal ini berbeda dengan konsep tuhan yang menyatakan dirinya maha suci dan maha kuasa, serta keberadaannya jauh di atas langit sehingga perlu ada bangunan tinggi (ziggurat) yang menjadi simbol ketakterjangkauannya dari manusia. Tuhan yang maha suci hanya bisa didekati secara simbolik (babilonia: Bab-El, pintu tuhan). Tuhan menjadi kurang berdarah, ia tidak bisa memompa denyut nadi manusia untuk menghadapi keresahan dan penderitaan di dunia. Itu lah yang menjadikan umat Israel lari dari tuhannya Musa (Yahweh) menuju tuhan berhala (tuhan sapi emas) yang lebih mudah dipahami dan didekati. Tuhan Yahweh terlalu dingin, transenden, dan tidak berperasaan.

Tuhan yang dipersonalisasi seperti kepribadian manusia memang rentan untuk dikritik karena terlalu sederhana dan tidak logis, tapi apa kita pernah memperhatikan kapasitas daya intelek yang dimiliki masyarakat awam? Karen Amstrong menamai konsepsi tuhan yang personal sebagai berhala daripada konsep tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang menyejarah dan mendarah daging dalam kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari model dan kepribadian manusia itu sendiri. Tuhan ini sering dianggap masyarakat awam lebih bisa menjawab doa dan harapan mereka daripada tuhan yang transenden. Tuhan personal meskipun lemah dilihat dari sisi rasionalitas tetapi lebih pragmatis dan bisa membangkitkan saraf-saraf moral masyarakat kebanyakan.

Baca Juga  Ulil dan Liberalisme yang Saleh
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini