Semarang – Udara panas siang itu membawa aroma laut sama-samar, berpadu bau bata tua lalu menua oleh waktu. Di Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Kota Semarang berdiri Masjid Layur. Peninggalan sejarah masa lalu  kala Semarang masih menjadi pelabuhan yang ramai disinggahi kapal dagang dari berbagai penjuru.
Di pelataran masjid, warga Kampung Melayu Bapak Naiv Hassan menyambut kami dengan senyum hangat. “Menara ini dulu bukan hanya tempat azan,” ujarnya sambil menatap ke puncak menara segi delapan yang menjulang. “Dulu, dari sinilah orang-orang mengawasi kapal yang datang. Sekarang fungsinya sudah berubah, tapi bagi kami, ia tetap penjaga waktu,”

Ucapan Sekretaris Pengurus Cabang Al Irsyad Kota Semarang  menjelaskan Masjid Layur bukan sekadar bangunan ibadah. Tumpukan bata mengandung simbol mengikat masa lalu dan masa kini menggambarkan tempat di mana sejarah pelayaran, perdagangan, dan dakwah Islam bertemu dalam satu ruang kehidupan.
Kaki melangkau ke lorong-lorong di sekitar Masjid Layur masih menyimpan denyut masa lalu. Deretan rumah-rumah kayu dan dinding bata merah melawan waktu untuk tak lapuk. Suara anak-anak bermain bercampur bersaut dengan lantunan azan Ashar  membangun harmoni kota terus berubah dan hening dalam kenangan.
Dong Limo dan Irama Lama yang Bertahan
Deretan permukiman padat, pandangan mata terlempar ke arah lima rumah identik  dikenal warga sebagai Dong Limo. Arsitekturnya khas tersusun dari pilar tinggi, jendela lebar, dan fasad simetris berpadu gaya kolonial ala nuansa pesisir. Sematan Dong Limo lahir dari bentuknya lima rumah berdiri sejajar seperti kembar lima, serasi dalam keindahan yang sederhana.
“Dulu di sini, semua orang hidup dalam satu irama,” tutur Naiv dalam percakapan yang berlanjut di halaman rumahnya. “Rumah-rumah ini dahulu dimiliki saudagar dan guru agama dibangun gotong royong  dan kebersamaan tumbuh. Nilai-nilai itu yang diwarisi,”

Urusan sosial berjalan beriringan dengan kegiatan ilahi berupa pembacaan Burdah dan Maulid masih dijaga, terutama di rumah keluarga Singgih. Tautan sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang tahun 1945 yang dilantunkan saban Rabu malam. Rebana ditabuh perlahan, syair dibacakan penuh khidmat.
“Yang hadir bukan sekadar suara,” tutur Naiv lagi, “Ada jejak perjuangan orang-orang terdahulu menjaga kampung ini.”
Jejak Encik dan Warisan Baswedan
Nama Kampung Pencikan berasal dari sapaan khas Melayu dan Arab, encik. Rumah-rumah tua berdiri rapat, menyisakan lorong kecil  menuntun kaki ke halaman rumah Mutahar, pencipta lagu kebangsaan 17 Agustus.
Di tempat inilah, menurut kisah Naiv, bendera pusaka sempat disembunyikan selama dua malam sebelum dibawa ke Yogyakarta. Tautan sejarah Kampung Melayu di perjalanan kemerdekaan Indonesia. Identitas Arab Melayu melekat di kampung  tak melulu ritual keagamaan, juga semangat kebangsaan.

Sepelemparan batu dari rumah Muhtar berdiri Masjid Baitul Makmur di atas tanah wakaf keluarga besar Baswedan. Naiv menceritakan warga melihat masjid sebagai ruang sosial dan spiritual sekaligus di serambinya, anak-anak belajar mengaji sementara orang tua berbincang selepas salat.
”Nilai-nilai kedermawanan dan kebersamaan yang diwariskan keluarga Baswedan masih mengalir dalam kehidupan sehari-hari, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini,” tuturnya.

Refleksi di Masjid Kyai Sholeh Darat
Senja turun pelan ketika langkah kaki menapaki lantai dingin Masjid Kyai Sholeh Darat pasca salat Ashar. Cahaya oranye menembus kisi-kisi jendela, menghadirkan suasana tenang memanggil kenangan. Perjalanan hari berakhir dengan salat Ashar berjamaah.
Masjid Kyai Sholeh Darat menegaskan di Kampung Melayu, waktu tidak benar-benar berlalu. Bangunan masa lalu berganti warna dan fungsi, dari menara yang mengawasi kapal menjadi sumber suaara azan yang menggetarkan hati. Aliran sungai mengalir menuju pelabuhan menjadi lorong kecil menyimpan cerita kehidupan.

Kampung Melayu tak sekadar ruang di peta kota. Wilayahnya menjelma bak simpul ingatan, tempat manusia, arsitektur, dan keyakinan saling menjaga agar sejarah tetap bernapas di antara deru mesin pembangunan ibu kota Jawa Tengah.
(Reporter: Andhika Bagaskara, Ilhamsa Maulana, Dani Lalang Anggoro, Muhammad Kaunain Mirfaqullah, Muhammad Shidiq al-Farizhi, Aji Aryadi /Editor: Rais)

