Suharjo, Pelaksana tugas Ketua Perhimpunan Warga Sapta Darma (Persada) Brebes mengatakan hal tersebut dalam diskusi program pemberdayaan ekonomi dan inklusi sosial bagi penghayat kepercayaan di Jawa Tengah, di Hotel Anggraeni, Brebes, Jumat (3/4) kemarin. “Pendataan ini sangat penting untuk memastikan bahwa warga Sapta Darma terlayani haknya tanpa mendapatkan diskriminasi terutama dari pejabat pemerintahan,” lanjut Suharjo.
Untuk tempat sujudan atau biasa disebut Sanggar, di Kabupaten Brebes saat ini setidaknya ada 5 sanggar yang biasa digunakan untuk sujudan. Kelimanya adalah Sanggar Candi Busono Sigentong, Sengon, Losari, Sitanggal dan Kaliwlingi. Selain Sanggar Sitanggal, empat sanggar lainnya sudah permanen.
Peneliti dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Khoirul Anwar mengatakan bahwa kasus penolakan almarhumah Ibu Jaodah, salah satu warga Sapta Darma akhir tahun 2014 lalu cukup memberikan dampak luas. “Pemerintah mulai berubah dalam pelayanan terhadap warga penghayat. Dulu, mereka sangat dibatasi aksesnya. Tetapi advokasi terhadap kasus Ibu Jaodah, membuat agak sedikit perubahan,” terang Awang, sapaan akrabnya
Meski begitu, ada juga imbas sosial dari kasus tersebut. Masyarakat mulai mengenali warga Sapta Darma. Bagi mereka yang kurang peka terhadap keragaman, maka stigma dan diskriminasi akan dengan mudah dialamatkan kepada mereka. “Namun, bagi masyarakat yang sensitif terhadap perbedaan, keragaman identitas keyakinan itu pasti akan dianggap sebagai kewajaran belaka. Disinilah tuntutan untuk menenggang perbedaan itu semakin diperlukan,” ujar pria kelahiran Brebes itu menegaskan. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin/001]