Kisah Penganut Sikep Berjuang 20 Tahun Memohon Akta Kelahiran Anaknya

Tianah, warga Sedulur Sikep Kudus menunjukan akta kelahiran anaknya. [Foto: Nazar]
Tianah, warga Sedulur Sikep Kudus menunjukan akta kelahiran anaknya. [Foto: Nazar]
[Kudus –elsaonline.com] Diskriminasi layanan administrasi kependudukan di daerah ternyata masih menyisakan masalah. Di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, warga yang mengurus keperluan tersebut tidak diberikan produk administrasi yang sesuai ketentuan yang berlaku.

Budi Santoso (55), warga Desa Larikrejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, mengaku saat mengajukan akta kelahiran anak ketiganya, tidak diberikan sesuai yang diminta. Permasalahan diperparah ketika akta kelahiran diterbitkan hanya mencantumkan nama pihak perempuan.

Dikatakan Budi, setelah dirinya mempersunting istinya, Tianah (45), dirinya telah dikaruniai tiga orang putri, bernama Sarah Puji Rahayu, Dwi Winarti, dan Anik Safitri. Anak pertama dan kedua tidak bermasalah, namun saat mengajukan akta anak ketiga permasalahan tersebut muncul.

“Anak saya yang ketiga, Anik Safitri itu di akte ditulis binti Ibu. Saya minta ditulis bin bapak, tapi tidak dianggap catatan sipil. Anak saya dianggap lahir di luar nikah. Itu yang menyakitkan hati saya,” kata Budi yang juga mengikuti ajaran Sedulur Sikep di Kudus itu, Rabu (1/5/2015) kemarin.

Menurut dia, proses perkawinan dirinya tidak terjadi masalah. Perkawinan mereka juga disaksikan tokoh masyarakat setempat, dan dikawinkan oleh pemuka Sedulur Sikep. Sehingga tidak ada alasan dari pemerintah untuk menolak permohonan penerbitan akta kelahiran.

Mantan ketua RT 002/001 Larikrejo itu hingga kini masih memperjuangkan agar akta anaknya bisa dirubah. Begitupun dengan penerbitan Kartu Keluarga bagi keluarganya dan komunitasnya, Sedulur Sikep yang rata-rata menjadi masalah administrasi.

“Itu yang Disdukcapil mengapa menuliskan hal itu (anak di luar kawin). Ajaran saya kalau begitu tak dianggap (dikucilkan),” serunya.

Budi sendiri bersama komunitas Sedulur Sikep mengaku terus memperjuang hak-haknya sejak tahun 1990an. Dari perjuangannya, mereka baru berhasil memperjuangkan untuk mengosongkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk.

Baca Juga  Sebab Beda Paham, Penghayat Urip Sejati Diserang

“Dulu KTP dibuat nama Islam. Saya hampir mogok tidak mau buat KTP. Akhirnya tahun 2004 baru bisa dikosongkan, hingga sekarang ini,” paparnya.

Dalam kesempatan yang sama, Prof Sujana Royat, mantan Deputi di Menteri Kooordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengunjungi kediaman Budi. Di tempat itu, dia lebih banyak mendengarkan keluhan dari Komunitas Sedulur Sikep yang didengar masih banyak terjadi diskriminasi.

Menurut Sujana, penting bagi masyarakat agar memperhatikan hak-hak dasarnya, apakah terpenuhi atau belum. Ihwal akta kelahiran yang tidak diterbitkan sesuai aslinya, hal demikian masuk dalam bentuk diskriminasi.

“Negara menjamin hak dasar masyarakat, siapapun itu. Entah anak PKI, atau siapapun itu terlindungi oleh negara. Kalau akte itu hak dasar, kalau tidak diterbitkan itu bentuk pengucilan, diskriminasi,” sebut konsultas program PNPM Peduli itu. [elsa-ol/Nazar Muhammad-@nazaristik/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini