[Semarang – elsaonline.com] Mahasiswa Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Tedi Kholiludin menganggap konsep nabi yang dipahami mempunyai peran ganda. Peran ganda nabi adalah konsep dairah wilayah yang berkaitan dengan hubungan penyampai wahyu, dan dairah nubuwwah yang bertugas menyampaikan hukum di tengah masyarakat. Dalam konteks dairah wilayah inilah dibutuhkan seorang Imam dalam tradisi politik Syiah.
Anggapan tersebut disampaikan Tedi dalam seri diskusi islamic studies, “Menggugat pemikiran Abdul Karim Soroush” di aula lembaga studi sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Rabu (4/4).
Soroush yang lahir di Tehran Iran 67 tahun silam ini seringkali gundah dalam upaya memperjuangkan gagasannya di Iran di tengah kondisi sosial-politik Iran yang berkecamuk pada masa revolusi 1979. Di tengah perjuangan panjang yang tak kunjung hasil, pikiran Souroush banyak diperbincangkan, terutama oleh pengamat barat. Pada posisi ini, nama Soroush mulai dipercakapkan.
Dalam pemaparannya, Tedi menilai gagasan atau pemikiran Soroush aslinya biasa-biasa saja. Menurutnya, sosok tidak kalah dengan Cak Nur ataupun Gus Dur di Indonesia. Hal tersebut akan sangat berbeda jika Souroush menyampaikan gagasannya di bumi Indonesia.
Ditambahkan, jika Soroush muncul di saat yang tepat berkaitan dengan lingkungan sosial dan berbicara dalam konteks Iran yang tengah disorot media dunia. “Sosok Soroush mluncul karena merefleksikan pendeketan-pendekatan yang selama ini dikenalkan oleh tradisi barat. Meski kemudian ia mengombinasikannya dengan pendekatan tradisional, tetapi kritik terhadap sistem pemerintahan Iran menjadikan Soroush seperti sedang melawan arus besar. Ini yang mungkin dianggap sebagai nilai lebihnya,” papar Tedi.
Soroush sendiri sering berbincang soal seklularisasi. Ia berpandangan jika sekularisasi adalah anak zaman yamg bisa mengakibatkan seseorang jatuh pada sikap materialisme, kapitalisme, maka diperlukan semacam “sekularisasi etika”.Meski begitu, ia tetap menegaskan jika keberadaan sekularasi adalah fakta yang harus diterima. Untuk itu, agar tidak terjebak materialisme, harus mendasarkan diri pada moralitas dan etika.
Tedi kemudian menggarisbawahi jika tradisi barat dibangun atas keragu-raguan, tetapi dalam Islam dibangun atas kepastian. Dengan begitu, sesuai pendapat Souroush, sebenarnya tidak menjadi masalah antara Islam dan demokrasi. Kata Tedi, Islam pernah berdebat panjang tentang relasi Islam dan rasio. Tetapi toh kejayaan Islam sebenarnya terbangun karena mampu memadukan wahyu dan rasio.
Dalam konteks sekarang, Soroush menekankan harus dimunculkan kolabolarasi antara hauzah (di Indonesia mungkin seperti institusi pesantren) sebagai simbol tradisional dan perguruan tinggi sebagai modernitas.
Dalam hal demokrasi, Souroush juga berbicara banyak hal. Menurutnya, tradisi politik di Iran yang teo-demokrasi lebih banyak mengarah ke teokrasi. Model politik ini memberi ruang yang tak terlalu luas bagi perbedaan pendapat.
Sorouh menekankan pengembangan Islam bisa diperoleh ketika bisa membedakan mana pengetahuan tentang agama dan hakikat agama. Pengetahuan itu, lanjutnya, bisa menyempit dan juga meluas tergantung pada bagaimana kapasitas keilmuan keagamaan seseorang.
Dalam menggugat Sourush, Tedi juga menggunakan teori Peter L Berger soal revolusi agama. Dalam teori itu, Berger memetakan respon masyarakat terhadap modernitas menjadi dua hal yakni menjadikan agama sebagai alat social engineering dan masyarakat membangun sub kultur agama. Adanya revolusi Iran tidak hanya merubah soal transisi politik, tapi juga merubah soal pola hidup, cara pandang dan sebagainya.
Di akhir presentasi, Tedi membacakan lantunan syair yang dikutip Abdul Karim Soroush:
“Kata-kata identik seringkali menipu
Orang mukmin dan orang kafir tampak identik dalam bentuk
Mengambil kata-kata tunggal dan jamak pertengkaran mengikuti
Satu makna yang tepat, ketenangan mengikutinya” (Nazar/eLSA-ol)