Oleh: Khoirul Anwar
Bagi penikmat khazanah Islam dapat dipastikan pernah membaca atau minimal mendengar nama “an-Nawawi” yang memiliki nama asli Abu Zakariya Yahya an-Nawawi. Oleh ulama semasanya dan sesudahnya an-Nawawi dijuluki “muhyiddin (orang yang menghidupkan agama)”, julukan yang paling tidak disukai an-Nawawi sendiri. Bagi an-Nawawi gelar “muhyiddin” mengandung keangkuhan, karena agama selamanya akan selalu hidup tanpa membutuhkan orang yang menghidupkannya. Sangkin bencinya dengan julukan itu an-Nawawi mengatakan “Aku tidak akan singgah di tempat orang yang menjulukiku dengan muhyiddin (lâ aj’alu fî hilli man laqabanî muhyîddîn). Kebencian an-Nawawi terhadap gelar tersebut merupakan salah satu cermin dari perilakunya yang selalu rendah hati (tawadlu’).[1]
An-Nawawi lahir pada 20 Muharram (menurut riwayat lain 10 Muharram) 631 H. di Nawa. Wafat pada waktu sahur (sepertiga malam) Rabu, 24 Rajab (menurut riwayat lain 14 Rajab) 676 H. Walaupun usianya hanya 45 tahun, namun karyanya sangat banyak, seakan-akan ia hidup lebih dari usia itu. Karyanya meliputi semua bidang kajian keislaman; fikih, hadis, syarh al-hadis, musthalah al-hadis, bahasa, teologi, dan yang lainnya.
An-Nawawi menghabiskan masa hidupnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dengan cara belajar, mengajar, membaca, diskusi, menulis, maupun yang lainnya. Bagi an-Nawawi, belajar adalah ibadah yang paling utama. Dalam mukaddimah bukunya yang sangat populer, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzab, setelah menguraikan hadis-hadis keutamaan mencari ilmu, an-Nawawi menyimpulkan:
“Para ulama sepakat bahwa menyibukkan diri dengan belajar lebih utama ketimbang menyibukkandiri dengan menjalankan ibadah sunnah seperti puasa, shalat, membaca tasbih,dan yang lainnya.”[2]
Ilmu harus bisa mengantarkan ke pengetahuan dan perilaku yang membedakan barang halal dan haram. Menurut an-Nawawi zuhud (asketisme) adalah tidak memakan barang haram. Ketika sebagian murid Muhammad bin al-Hasan, ulama besar pengikut madzhab Abu Hanifah memohon kepada an-Nawawi supaya menulis buku tentang zuhud, an-Nawawi menjawab: “Aku sudah menulis buku tentang jual beli untuk kalian(laqad allaftu lakum kitâba al-buyû’).” Dengan demikian bagi an-Nawawi laku asketik bukan berarti menjauhi urusan duniawi melainkan menghindar dari memakan barang haram dan tidak memakan harta orang lain dengan cara batil (ijtinâbu mâ harramallahu wa ijtinâbu akli amwâl al-nâsi bi al-bâthil).
Oleh karena itu an-Nawawi sangat berhati-hati (wara’) dalam menerima harta. Diinformasikan, an-Nawawi tidak mau memakan buah dari Damaskus. Ketika ditanya salah satu muridnya, Ibnu al-‘Athar kenapa tidak mau memakan buah dari Damaskus, an-Nawawi beralasan buah tersebut status kepemilikannya tidak jelas. Saat itu buah-buahan di Damaskus merupakan barang wakaf, sehingga tidak boleh dialokasikan kecuali untuk menggembirakan anak yatim dan kepentingan bersama (al-ghibthah wa al-mashlahah). Sementara masyarakat di tempat buah-buahan tumbuh tidak mengalokasikannya secara benar.[3]
Disamping sibuk mengembangkan kajian keislaman an-Nawawi juga menyibukkan diri dengan aktifitas sosial lainnya seperti mengontrol kebijakan penguasa. Jika terdapat penguasa berlaku dzalim maka an-Nawawi segera menegurnya dengan berhadapan langsung maupun melalui surat yang dikirimkan kepadanya. Kontrol terhadap penguasa ini pernah menjadikan beliau diusir dari Kota tempat tinggalnya, Damaskus, lalu berpindah dan menetap di tanah kelahirannya, Nawa. Saat itu an-Nawawi tidak menyetujui dan mengkritik penguasa Damaskus, Sultan al-Dzahir yang melakukan korupsi terhadap uang Negara (baitul mâl). Sultan al-Dzahir menggunakan baitul mâl bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memperkaya diri, berpoya-poya, dan membeli perhiasan untuk gadis simpanannya yang berjumlah 200 perempuan.[4]
An-Nawawi semasa hidupnya hingga akhir hayat tidak pernah menikah. An-Nawawi memilih hidup menjomblo (tidak menikah). Pertimbangan an-Nawawi bukan karena sibuk belajar, mengajar, menulis, atau sibuk dengan kegiatan sosial lainnya, tapi karena an-Nawawi takut tidak bisa berlaku baik kepada pasangannya apabila menikah.
Bagi an-Nawawi, ikatan pernikahan memiliki tanggungjawab besar bagi pasangan lelaki (suami), yakni suami harus memberikan pelayanan terbaik kepada istrinya. Dalam salah satu karyanya, ketika menjelaskan kewajiban istri terhadap hak suaminya an-Nawawi mengutip riwayat salah satu sahabat perempuan nabi Muhammad Saw. yang bernama Asma’. Dalam riwayat tersebut diceritakan, Asma` selalu memberi makan kepada kuda milik suaminya, Zubair. Asma` juga mencukupi kebutuhan hidup suaminya, menghiasinya, menyuapi, memberi minum, dan membuatkan roti.
Dalam mengomentari riwayat ini, an-Nawawi mengatakan:
“Ini semua merupakan kebaikan istri yang berlaku di masyarakat, yakni perempuan membantu suaminya dengan menjalankan perbuatan-perbuatan tersebut dan sesamanya, seperti membuatkan roti, memasak, mencucikan pakaian, dan yang lainnya. Itu semua adalah perbuatan baik (tabarru’) seorang istri kepada suaminya dan etika baik seorang istri dalam menjalani hidup bersama suami. Pekerjaan-pekerjaan tersebut sama sekali bukan menjadi kewajiban istri. Andai istri tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut maka istri tidak berdosa. Malah sebaliknya, suami harus memenuhi semua kebutuhan (sandang, pangan, papan) untuk istrinya. Suami tidak boleh memaksa sedikitpun kepada istrinya untuk melakukan perbuatan tersebut, karena istri menjalankan pekerjaan itu murni sebagai perilaku baiknya (tabarru’). Pekerjaan tersebut menjadi kebiasaan baik yang terus dilakukan oleh para istri sejak zaman dahulu hingga sekarang. Sesungguhnya perbuatan yang menjadi kewajiban istri kepada suaminya hanya ada dua, yaitu; mempersilahkan suami untuk menjamah tubuhnya, dan menetap di rumah.”[5]
An-Nawawi khawatir apabila menikah lalu istrinya tidak menjalankan “pekerjaan rumah tangga” yang memang tidak diwajibkan oleh Allah kepada para istri, an-Nawawi kemudian marah. Marah pada istri lantaran istri tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dapat mendatangkan kemarahan Tuhan.[6]
Sementara dalam rentang sejarah manusia, masyarakat sering kali menganggap pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, merawat anak, dan yang lainnya menjadi kewajiban istri. Sehingga ketika istri tidak atau kurang maksimal menjalankan pekerjaan tersebut suami marah, terkadang malah suami memperlakukannya dengan kasar seperti memukul dan menceraikannya. Padahal pekerjaan tersebut sama sekali bukan menjadi kewajiban istri.
An-Nawawi tahu bahwa kewajiban suami lebih banyak dan lebih berat ketimbang istri, suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang sangat baik, tidak boleh meminta, terlebih menuntut kepada istrinya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang bukan menjadi kewajiban istri. Sementara an-Nawawi khawatir (apabila menikah) dirinya tidak dapat memperlakukan istrinya dengan baik, sehingga ia memilih untuk tidak menikah.
Kendati an-Nawawi tidak meninggalkan keturunan lantaran tidak menikah, namun an-Nawawi meninggalkan segudang karya yang sejak dulu hingga sekarang bahkan di masa mendatang akan terus dikaji dan dipelajari oleh umat Islam.
Dalam salah satu catatan harian an-Nawawi yang ditemukan muridnya, al-‘Athar, an-Nawawi menulis:
“Amûtu wa yabqâ kullu mâ qad katabtuhu # Fa yâlaita man yaqra`u kitâbî da’â liyâ.
“La’alla ilâhî an yamunna bi luthfihi # Wa yarhama taqshîrî wa sû`a fa’âliyâ.
[Aku akan mati, sementara semua pemikiran yang aku tulis akan abadi # Semoga saja orang yang membaca karyaku berdo’a untuk-ku.
Semoga Tuhan memberikan anugrah dengan sifat lembut-Nya # Dan menyayangi (memaafkan) kecerobohanku dan perilaku buruk-ku.]”[7]
*Istilah jomblo dalam tulisan ini memiliki arti belum atau tidak menikah.
[1] Abdul Ghanî, Al-Imâm al-Nawawî; Syaikh al-Islâm wa al-Muslimîn, wa ‘Umdatual-Fuqahâ` wa al-Muhadditsîn, wa Shafwatu al-Auliyâ` wa al-Shâlihîn,Damaskus: Dâr al-Qalam, tt. hal. 21.
[2] An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzab, Dâr al-Fikr, tt. vol. I, hal.21-22.
[3] Abdul Ghanî, Al-Imâm al-Nawawî; Syaikhal-Islâm wa al-Muslimîn, wa ‘Umdatu al-Fuqahâ` wa al-Muhadditsîn, waShafwatu al-Auliyâ` wa al-Shâlihîn, Damaskus: Dâr al-Qalam, tt. hal. 90.
[4] Abdul Ghanî, Al-Imâm al-Nawawî; Syaikhal-Islâm wa al-Muslimîn, wa ‘Umdatu al-Fuqahâ` wa al-Muhadditsîn, waShafwatu al-Auliyâ` wa al-Shâlihîn, Damaskus: Dâr al-Qalam, tt. hal.107-108.
[5] An-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajjâj,Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, cet. II, 1392, vol. XIV, hal. 164.
[6] AbdulGhanî, Al-Imâm al-Nawawî; Syaikh al-Islâm wa al-Muslimîn, wa ‘Umdatual-Fuqahâ` wa al-Muhadditsîn, wa Shafwatu al-Auliyâ` wa al-Shâlihîn,Damaskus: Dâr al-Qalam, tt. hal. 153.
[7] AbdulGhanî, Al-Imâm al-Nawawî; Syaikh al-Islâm wa al-Muslimîn, wa ‘Umdatual-Fuqahâ` wa al-Muhadditsîn, wa Shafwatu al-Auliyâ` wa al-Shâlihîn,Damaskus: Dâr al-Qalam, tt. hal. 154.