Oleh: Tedi Kholiludin
AWAL Juni lalu, CSIS mengumumkan survei tingkat toleransi masyarakat Indonesia yang . menunjukan tingkat toleransi rendah. Sebanyak 59,5% responden tak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain.
Sebanyak 33,7% lainnya menjawab sebaliknya. Dalam hal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, 68,2% responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan dan 22,1% menyatakan tidak berkeberatan. (tempo.co.id, 05/06/12)
Saat Komite Universal Periodic Review (UPR) Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB menggelar review untuk melihat kepatuhan Indonesia terhadap norma-norma perjanjian HAM internasional, masalah intoleransi itu juga mengemuka. Delegasi Slovakia meminta ketegasan Indonesia terhadap kekerasan atas nama agama. Afsel menyinggung soal intoleransi dan meminta Indonesia melindungi minoritas agama. Delegasi Swedia meminta kita merevisi produk hukum yang membatasi kebebasan agama.
Pemerintah Denmark meminta Indonesia sepenuhnya melindungi minoritas agama, merevisi KUHP 156a tentang Penistaan Agama serta PBM 2006 tentang Rumah Ibadah. Delegasi Denmark merasa prihatin atas isu kelompok agama minoritas di Indonesia terutama dengan adanya SKB 3 Menteri (tentang Ahmadiyah) yang tidak sesuai dengan standar HAM internasional.
Sorotan dunia internasional itu rupanya membuat gerah Hasyim Muzadi, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP). Ia membantah sidang periodik di PBB bahwa negara Indonesia sarat dengan masalah agama. Indonesia menurut Hasyim justru paling toleran dan lebih baik ketimbang Swiss, Prancis, Swedia, dan lainnya.
Apresiasi Seimbang
Persoalan Ahmadiyah, menurutnya menjadi pelik karena mereka tidak mau keluar dari Islam dan mendirikan agama sendiri. Persoalan pendirian rumah ibadah, dalih Hasyim, itu terjadi karena lingkungan. Di Jawa pendirian gereja banyak menuai kontroversi. Hal yang sama terjadi pada umat Islam yang hendak mendirikan masjid di Kupang dan Papua. (Gatra, 03/06/12)
Kita tidak bisa menutup mata bahwa fakta dalam kehidupan keberagamaan tidak selalu mulus. Berlarut-larutnya kasus pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Bogor, HKBP di Bekasi, perusakan rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah dan juga Syiah adalah fakta yang tak terbantahkan.
Dengan menyebut bangsa Indonesia intoleran, survei itu seolah-olah abai pada praktik-praktik toleransi yang juga ada di masyarakat. Menilai Indonesia sebagai intoleran, seolah menghapus inisiatif masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah yang menginginkan bumi Borneo tetap damai dalam keberagaman identitas agama. Karena dianggap intoleran, juga seperti menghapus rekam jejak Pemkab Purworejo yang telah menjadi mediator yang baik dalam polemik kelompok Majelis Tafsir Al Quran (MTA) dan warga nahdliyin. Termasuk kiprah Pemkab Kudus yang akomodatif dalam pencantuman identitas agama kelompok Sedulur Sikep.
Di sinilah pentingnya memahami klaim dari sebuah survei. Bahwa ada fakta yang berbeda dari kesimpulan, itu mungkin tidak bisa dinafikan. Tetapi, kesimpulan dari survei CSIS itu serta catatan dari negara-negara luar terhadap kondisi Indonesia sangat berguna untuk menambal bolong-bolong dalam pelaksanaan kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Penyakit yang menjangkit di masyarakat dalam hal toleransi salah satunya adalah sikap toleransi yang masih setengah hati. Harapan yang tinggi dibebankan salah satunya kepada kelompok propluralisme. Tugas kelompok ini tidak hanya sekadar membumikan pluralisme sebagai living ethic tetapi juga mencermati perkembangan di akar rumput.
Jadi, tidak hanya persoalan intoleransi dan kekerasan yang menjadi bahan sorotan tetapi juga kerukunan dan pemerintah yang menjamin kehidupan kebebasan beragama warganya juga perlu diberi apresiasi.
(Tulisan ini dimuat di Harian Suara Merdeka, 9 Juli 2012)