Oleh: Tedi Kholiludin
Mayoritas penganut umat Islam meyakini bahwa Islam adalah Din (agama) dan Daulah (Negara). Islam tidak hanya sebagai sistem teologi semata, tetapi juga sistem politik. Atas dasar keyakinan ini maka membangun sistem pemerintahan adalah implementasi dari kehendak Ilahi. Kondisi seperti ini, bagi kebanyakan masyarakat Eropa dan Amerika bisa jadi merupakan keganjilan, karena dalam pandangan mereka agama hanya berbicara sebatas pada kesalehan personal seseorang (Watt: 1980, 1). Islam ternyata memiliki bangunan khas soal hubungan agama dan politik.
Memang tidak bisa dinafikan bahwa bahasan mengenai relasi antara Islam dan politik masih menjadi diskursus yang terus diperdebatkan. Hal demikian bisa dimaklumi karena “teks politik” dalam Islam menjadi objek yang multitafsir. Pertama-tama, tentu saja karena bahasan politik (baca: sistem kenegaraan) dalam al-Qur’an, sebagai sumber utama pengambilan hukum, masih perlu ditafsir ulang. Bahkan ada yang mengatakan, al-Qur’an tidak berbicara eksplisit tentang sistem politik. Maka dari itu, bahasan politik masuk dalam kategori ijtihadiy.
Selain karena teks politik dalam al-Qur’an relatif tidak ada yang menyebutnya secara eksplisit, posisi Nabi Muhammad sendiri seringkali menjadi bahan perdebatan, apakah beliau menjadi pemimpin spiritual semata ataukah juga menjadi kepala Negara. Ini memang menarik, karena mata harus tertuju pada aktivitas Nabi Muhammad di dua tempatnya berdakwah, Mekkah dan Madinah. Sebagai manusia, secara natural Nabi Muhammad tentu saja memiliki karakter yang tak hanya secara makhluk spiritual tetapi juga makhluk politik.
Semasa di Makkah (610-622 M) karakter umat Islam baru sebatas community. Nabi Muhammad, karenanya lebih banyak menekankan fondasi etika atau moralitas. Sementara masyarakat muslim Madinah (622-632 M) memiliki langgam berbeda. Mereka sudah beralih menjadi sebentuk society, dimana Nabi tidak hanya menjadi pemimpin spiritual saja, tetapi juga sebagai “kepala Negara”. Nabi mulai membentuk “duta besar”, angkatan perang, undang-undang dan lainnya.
Kehidupan masyarakat muslim Madinah meniscayakan proses politik mengingat ada banyak kabilah Arab, kabilah Yahudi, serta kabilah Arab-Muslim yang hijrah ke Madinah. Proses-proses politik ini juga dimungkinkan karena sumber ekonomi Madinah hanya berasal dari pertanian. Ini yang membedakannya dengan Makkah yang menjadi pusat perdagangan dan perziarahan. Kondisi geografis ini yang berakibat pada peralihan sumber ekonomi lain yang dalam sejarah politik Islam dikenal sebagai ghanimah atau harta rampasan perang. (Aziz: 2011, 9) Yang paling kentara bahwa nabi melakukan kerja-kerja politik adalah bahwa di Madinah, Nabi Muhammad melakukan negosiasi politik yang termaktub secara eksplisit dalam Piagam Madinah (Medina Chapter, Mitsaq al-Madinah).
Robert N. Bellah menganggap bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad atas masyarakat Arab menciptakan lompatan dalam kompleksitas social dan kapasitas politik. Kata Bellah (150), “There is no question but that under Muhammad, Arabian society made a remarkable leap forward in social complexity and political capacity”. Saat struktur yang dibuat oleh nabi itu diperluas oleh khalifah untuk mengembangkan prinsip organisasi bagi kerajaan dunia, maka hasilnya adalah sesuatu yang benar-benar modern untuk saat itu. Modern disini merujuk pada tingginya komitmen, keterlibatan serta partisipasi anggota masyarakat juga keterbukaan terhadap posisi kepemimpinan berdasarkan kemampuan dan persyaratan yang bersifat universal lainnya. Kegagalan generasi awal umat Islam dalam mempertahankan kondisi tersebut disebabkan karena ide ini terlalu modern, sementara perangkat infrastruktur sosial yang mendukung belum tercipta. (Bellah, 150-151)
Sejarah politik umat Islam pasca nabi adalah bagian dari titik konflik yang sangat lebar. Bahkan saat nabi belum dimakamkan, perdebatan tentang siapa yang berhak menggantinya adalah permulaan sejarah politik yang ditandai dengan hadirnya firqah-firqah atau golongan dalam Islam. Kelompok yang terpecah ini mula-mula adalah respon terhadap persoalan kepemimpinan pasca nabi. Namun, pada perkembangannya masalah politik itu mendapatkan peneguhan secara teologis. Karenanya, politik pada masa-masa awal Islam lebih banyak didominasi oleh persoalan teologi. Dengan kata lain, teologi atau ilmu kalam merupakan disiplin yang banyak berbincang tentang politik hingga kurang lebih sampai abad 8 Masehi. Fikih (hukum Islam) baru menjadi disiplin pengetahuan yang turut terlibat dalam usaha membicarakan politik 4 abad kemudian. Al-Mawardi dengan “al-Ahkam al-Shulthoniyyah”nya menjadi peletak dasar dari apa yang sekarang dikenal sebagai fikih siyasah atau fikih politik.
Kepemimpinan setelah nabi kemudian dipegang oleh Khulafaur Rasyiduun (para pengganti yang cerdas) sejumlah empat orang dengan mekanisme pergantian yang berbeda-beda. Abu Bakar (memerintah 631-633 M) dipilih secara aklamasi, meski sempat terjadi perdebatan sengit di Tsaqifah Bani Sa’idah. Lalu Umar bin Khattab (633-644) diangkat melalui dekrit atau penunjukan langsung oleh Abu Bakar, Utsman bin Affan (644-656) dipilih melalui sebentuk demokrasi perwakilan dengan menggabungkan dekrit dan musyawarah. Sementari Ali bin Abi Thalib (656-661), khalifah keempat dipilih oleh penduduk Madinah saja. Sampai disini terlihat bagaimana bentuk pemerintahan dalam Islam tidak pernah mendapatkan pembakuan. Tetapi jika dilihat sekilas, kepemimpinan model khilafah menjadi warna dominan pada pemerintahan empat khalifah itu.
Setelah masa empat Khalifah itu, dinasti umat Islam dikendalikan oleh Muawiyah, anak Abu Sufyan dari klan Umayyah. Mereka berkuasa hingga tahun 750. Damaskus dijadikan sebagai ibukota Dinasti Umayyah. Muawiyah kemudian merubah tata pemerintahan yang dari tadinya berbentuk khilafah, menjadi monarkhi. Setelah kekuasaan Umayyah, dinasti politik dipegang oleh keluarga Makkah lainnya, yang dikenal dengan Abassiyyah yang merupakan keturunan dari nabi Muhammad, Abbas. Mereka memindahkan Ibukota dari Damaskus ke Baghdad sampai pada awal abad ke 10. Hingga tahun 1258, mereka tetap menggunakan gelar khalifah meski kekuasaan politiknya sudah semakin terkikis akibat penyerbuan tentara Mongol. (Watt, 2002: 37). Sejak saat itu, sejarah Islam cenderung menjadi sejarah dinasti, diantara yang mencuat adalah Kerajaan Turki Utsmani (1300-1900an), Dinasti Safawi di Persia dan Dinasti Mughol di India.
Gambaran ini merupakan fase awal perkembangan Islam yang tentu saja tidak mengcover pergulatan Islam di Mesir, Spanyol, Cina, Asia Tenggara serta wilayah lainnya. Tulisan ini barangkali akan lebih menitikberatkan pada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk mengulas kajian Islam dan Politik serta tema-tema yang bisa diangkat dalam kajian tersebut, termasuk dalam lokus Indonesia.
Beberapa Pendekatan
Saya mencoba menawarkan tiga pendekatan dalam mengkaji Islam dan Politik, yakni Pendekatan Normatif, Sosio-Historis serta Filosofis. Pendekatan normatif diasumsikan bahwa memahami kajian politik dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari disiplin yang sangat dominan, yakni fikih. Namun, tidak bisa disangkal lagi bahwa kajian politik dalam sejarah Islam dengan menjadikan fikih sebagai optiknya, tidak bisa dilepaskan dari bidang yang lain, yakni teologi. Membahas politik dalam Islam secara normative berarti mendarasnya dalam bingkai fikih (juga teologi), menggambarkan argumentasi masing-masing kelompok yang disarikan dari teks-teks keagamaan. Sementara pendekatan sosio-historis berarti menggabungkan dua pendekatan sekaligus yakni sosiologis dan sejarah sebagai sebuah cara pandang. Karena itu, mengkaji politik Islam dalam kerangka sosiohistoris berarti melihat elemen-elemen dalam panggung politik Islam dari aspek social (bisa meliputi interaksi, struktur, simbol, institusi dan lainnya) dan kesejarahan (peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku). Yang terakhir, pendekatan filosofis yang tentu saja bermaksud untuk melihat kandungan nilai atau substansi dalam setiap formasi politik Islam.
Pendekatan utama yang biasa digunakan dalam mengkaji politik Islam adalah fikih. Seperti yang digambarkan di awal, bahwa pendekatan fikih baru digunakan setelah pendekatan teologi terlebih dahulu membahas tema politik itu. Para mutakallim yang pertama kali kali mengangkat isu politik, misalnya yang terefleksikan dalam bahasan imamah (Assyaukanie, 2005: 251). Pendekatan normatif dalam wilayah teologi ini bisa digunakan misalnya dalam melihat bagaimana respon kelompok-kelompok dalam Islam ketika menyikapi suksesi pasca nabi. Ada tiga madzhab teologi yang berbeda dalam menyikapi peristiwa tersebut. Pertama adalah pengikut Syiah yang menyatakan bahwa imamah merupakan hak keluarga nabi (ahl al-bayt). Kedua, pengikut Muawiyah yang mengatakan bahwa imamah adalah pilihan manusia dan campurtangan Tuhan. Ketiga, pengikut khawarij yang menganggap bahwa masalah imamah harus dikembalikan pada dalil al-Qur’an. Dengan menggunakan optik normatif-teologis kajian Islam bisa digunakan untuk mengungkap argumentasi masing-masing kelompok ihwal proyeksi politiknya. Salah satu karya yang sangat otoritatif berbicara tentang aliran-aliran teologi dalam Islam adalah Al-Milal wan Nihal karya Al-Syahrastani.
Pendekatan normatif berikutnya adalah normatif-fiqhiy. Seperti disinggung di awal, fikih tentang politik baru ditulis kira-kira 4-5 abad kemudian setelah perdebatan tentang imamah. Al-Mawardi, sebagai peletak dasar fikih politik Islam, berusaha menguraikan tentang bagaimana masyarakat politik itu berdiri. Fikih banyak berbicara tentang bagaimana mekanisme kepemimpinan Negara atau khalifah, yang kemudian menjadi tema sentralnya. (Assyaukanie, 253). Memang ada unsur kesejarahan yang diuraikan dalam pendekatan fikih, tetapi sejarah dalam pendekatan fikih lebih pada usaha untuk mencari pembenar atas sistem tertentu (baca: khilafah). Dengan begitu sejarah dalam pendekatan fikih tidak duduk dalam posisi yang netral sebagai sebuah pendekatan.
Pendekatan fikih disini juga meniscayakan bahwa politik sebagai sesuatu yang ilahi. Artinya, politik selalu dilekatkan dalam persepsi bahwa ia merupakan perintah Tuhan. Pemahaman seperti ini yang kemudian terformulasi dalam sebuah gagasan politik Islam yang sangat eksklusif. Contohnya adalah persyaratan pemimpin yang harus beragama Islam, atau bahkan bersuku Quraisy seperti yang ditulis oleh al-Mawardi. Lalu pembagian wilayah ke dalam Darul Islam dan Darul Kufr, konsep Ahl Dzimmah (protected minority), dan lainnya. Sebagai refleksi pemikiran masa tertentu, fikih pada gilirannya mencerminkan aktivitas social-politik pada masanya. Jika tidak dipahami secara kontekstual, maka pendekatan fikih terhadap politik akan sulit dicari relevansinya.
Cara pandang lain dalam memahami politik Islam adalah sosio-historis. Sebagai sebuah objek penelitian, politik mestinya tidak hanya berbicara tentang mekanisme pergantian kekuasaan semata. Mengutip Mazhab Annales (via Azra, 2004: 26), sejarah politik mestinya memberikan analisis pada struktur jangka panjang atau long-term structure yang didalamnya mencakup bahasan mengenai sistem semiological (semiologi: studi tentang tanda dan simbol) seperti peristilahan, ritual, perilaku, dan sikap mental politik. Disini, politik harus menjadi bagian dari general history.
Beberapa karya yang mencoba menempatkan politik Islam sebagai bagian dari general history atau total history adalah Marshal G.S Hodgson dalam The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization dan Ira M. Lapidus dalam A History of Islamic Societies. Hodgson menggambarkan sejarah Islam sebagai bagian pinggir dari sejarah dunia. Memahami Islam karenanya tidak bisa hanya membahas Islam per se tetapi ia harus ditempatkan dalam sejarah peradaban dunia. Sementara Lapidus mendedah mengenai heterogenitas masyarakat muslim di pelbagai belahan dunia. Bagaimana masyarakat muslim berdialog dengan dunianya, dan bagaimana interaksi antara pengalaman mereka dengan nilai-nilai Islam itu terjadi. Kata Azra (2004), dua karya itu menggambarkan general history yang dalam batas-batas tertentu merujuk pada model sejarah dari “pinggir”. Sejarah model ini biasa melihat sejarah sosial yang pada umumnya berbicara mengenai adat, tata cara yang dikembangkan dalam kehidupan keseharian. Ia menggambarkan sejarah masyarakat Muslim secara keseluruhan, yang meliputi kawasan non-Arab. Sejarah Islam dari “pusat” yang berbicara lebih banyak tentang institusi politik misalnya, merupakan bagian kecil dari Sejarah Islam dari “pinggir”. Keduanya bisa saling melengkapi. Buku karya Mahmoud Musthafa Ayoub, The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam adalah salah satu karya yang membahas sejarah Islam dari “pusat”.
Pembahasan yang lain tentang politik Islam bisa dilihat secara filosofis. Jika pendekatan fikih lebih banyak berbicara tentang siapa yang menjadi pemimpin, filsafat menekankan pada kondisi ideal sebuah negara. Yang termaktub dalam al-Qur’an sebenarnya adalah substansi, tujuan atau nilai yang mesti diendapkan oleh masyarakat dan pemerintahan sebuah negara. Idealitas itu misalnya terbaca dalam term-term al-Qur’an tentang kejujuran dan akuntabilitas (al-amanah), keadilan, persaudaraan, penghargaan terhadap perbedaan, persamaan, perdamaian, permusyawaratan dan lainnya. Namun, ihwal bentuk negara, al-Qur’an tidak memerincinya. Al-Farabi menggambarkan pemerintahan yang ideal ini dalam frasa al-Madinah al-Fadhilah atau kota utama.
Perbedaan antara pendekatan fikih dan filsafat dalam membahas politik bisa digambarkan secara sederhana. Pertama, fikih menyikapi pemikiran politik sebagai rangkaian peristiwa sejarah tentang pembentukan Negara (state) dan ketiadaan Negara (anarchy). Sementara dalam filsafat, politik disikapi dalam konteks gagasan masyarakat ideal (utopia). Kedua, filsafat lebih berorientasi ke masa depan, sementara fikih berusaha untuk mencari pembenaran dari sejarah masa lalu. Ketiga, filsafat bisa menerima gagasan yang bersifat universal, sementara fikih berkutat pada tradisi perpolitikan masyarakat muslim. (Assyaukanie, 2005: 253)
Dengan berpancang pada ide universal mengenai politik, maka pendekatan filsafat tidak terlalu memperdebatkan wacana syariat Islam (formalis) sebagai dasar hukum sebuah negara, suku mana yang memimpin, agama seorang kepala negara dan lain-lainnya. Penekanan pada aspek substansial menjadi aspek sentral dalam pendekatan ini.
Pilihan-pilihan Tema
Dengan menggunakan tiga model pendekatan di atas, kita mencoba menyisir tema-tema dalam kajian politik Islam yang bisa dijadikan sebagai objek pembahasan. Karena mungkin akan sangat banyak sekali tema yang bisa dibahas, maka saya akan merumuskannya dalam beberapa cluster. Dari sisi lain, agar bahasan tentang dinamika Islam dan politik lebih menunjukan relevansinya, maka ada bagian lain yang khusus berbicara tentang tema itu dalam konteks keIndonesiaan.
Bagian yang menjadi bahasan umum tentang politik Islam mungkin bisa dengan melihat sistem pemerintahannya. Bahasan tentang perbedaan mengenai sistem pemerintahan yang tidak tunggal dalam sejarah Islam, bisa menjadi salah satu topik yang diangkat dalam objek penelitian. Sejarah Islam yang dimaksud tidak kemudian dibatasi hanya pada masa Kekhilafahan sampai dinasti saja tetapi juga sampai pada masa sekarang, dengan berbagai tafsirannya. Kajian juga tidak harus melulu dalam level yang general tapi bisa dilakukan pembatasan misalnya dengan melihat transisi dari Khalifah Ali ke Muawiyah yang juga ditandai dengan pergeseran model pemerintahan. Atau bisa juga dilakukan pembahasan terhadap pemikiran tokoh yang berkaitan dengan pemerintahan Islam. Misalnya pemikiran Abul A’la Al-Maududi tentang Konsep Teodemokrasi.
Tema yang tak kalah menarik adalah soal kebijakan yang diberlakukan pada masa pemerintahan Islam. Misalnya studi mengenai kebijakan hukum Umar bin Khattab saat menjadi khalifah yang tidak memotong tangan pencuri. Bisa juga dibahas mengenai kebijakan pemerintahan tertentu pada masa sejarah Islam terhadap penganut agama lain. Juga akan menjadi bahasan menarik, jika kebijakan memerangi mereka yang tidak membayar zakat pada masa Abu Bakar, juga dilihat dari optik politiknya. Ketika pemerintahan Islam awal melakukan ekspansi, kita tahu bahwa ada sekian banyak peperangan yang dilakukan. Etika berperang, mungkin akan bisa menjadi bahan kajian.
Selain dua tema di atas, bahasan mengenai praktek pemerintahan di negara-negara mayoritas Muslim juga menjadi topik menarik. Jika kita mencermati survey Freedom House tentang indeks kebebasan sipil dan politik di seluruh dunia, maka akan terlihat bahwa negara-negara Timur Tengah yang berpenduduk mayoritas muslim, memilikki indeks kebebasan sipil dan politik yang rendah. Relevansi survey ini bisa juga dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari dari Universitas George Washington. Dalam publikasinya yang bertajuk “How Islamic are Muslim Countries” mereka menunjukan bahwa prinsip-prinsip Islami dalam wilayah ekonomi, pendidikan, pekerjaan, politik dan lainnya seperti yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits itu ternyata tidak dipraktekan oleh negara yang memiliki dasar negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Islam. Selandia Baru berada di urutan pertama, lalu Luksemburg di posisi kedua, sebagai negara yang Islami. Sementara Malaysia, negara Islam berada di posisi 38 dan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam di posisi 140.
Bahasan berikutnya adalah pergulatan Islam dengan ide-ide modern, termasuk di dalamnya nasionalisme, sekularisme, demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), pluralisme, liberalisme, gender, sekularisme dan lainnya. Eksistensi negara Turki yang mencoba meraih kejayaan dengan menyandarkan pada ide-ide sekularisme, tentu menjadi pola yang khas dimana prinsip yang dicanangkan Musthafa Kemal Attaturk ini berbeda dengan pemahaman tradisional umat Islam tentang Islam yang tak mengenal pemisahan antara agama dan politik.
Khusus dalam konteks Indonesia, kajian tentang Islam dan politik bisa lebih variatif, mulai dari kajian kesejarahan (sejarah politik), pertarungan Islam politik pada masa-masa kemerdekaan hingga reformasi, konflik, pemikiran tokoh dan lain-lain.
Tema pertama tentang politik Islam di Indonesia bisa dimulai dengan mengurai sejarah masuknya Islam di Indonesia dan mengaitkannya dengan sejarah sosial politik. Masuknya Islam di nusantara berkelindan dengan pergulatan sosial politik terutama dengan penguasa-penguasa wilayah sebelumnya. Pergolakan seperti ini terjadi hampir di seluruh wilayah di nusantara.
Pergulatan Islam politik yang merefleksikan semangat konfrontasi mungkin bisa dilihat pada masa Belanda. Aqib Suminto menulis karya terkait hal ini yang berjudul “Politik Islam Hindia Belanda”. Buku ini kurang lebih bercerita tentang kebijakan Belanda terhadap umat Islam khususnya, termasuk bagaimana umat Islam merespon hal tersebut. Pergeseran kebijkan politik terhadap umat Islam agak bergeser pada zaman Jepang di masa-masa awal, meski pada perkembangannya sebenarnya tidak jauh berbeda pada masa Belanda. Beberapa yang pernah menulis tentang tema-tema ini antara lain BJ. Boland dan Harry J. Benda.
Pada masa-masa jelang kemerdekaan, polarisasi antara kelompok Islam dan nasionalis terlihat misalnya dalam sidang Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Perdebatan mengenai dasar negara apakah harus Islam atau bukan, merupakan salah satu bahasan yang ada dalam sidang tersebut. Meski akhirnya forum bersepakat untuk memutuskan Islam tidak sebagai dasar negara, tetapi keinginan itu kembali muncul dalam sidang Konstituante dan sidang Istimewa MPR tahun 1999. Dinamika Islam pada masa orde baru mungkin yang paling menarik untuk dikaji. Ada banyak kebijakan pemerintah terhadap kelompok Islam, baik yang bersifat represif maupun akomodatif.
Tidak bisa dinafikan bahwa kajian Islam dan Politik di Indonesia sangat berkaitan dengan kontribusi para pemikir, negarawan maupun aktivis politik. Soekarno juga banyak berbicara tentang Islam meski tidak seluas yang dikupas oleh M. Natsir. Ada kritik yang sangat tajam dari Soekarno terhadap fenomena keberislaman orang Indonesia yang ditulis dalam artikel “Islam Sontoloyo”. Bisa dicermati pula misalnya perdebatan keduanya tentang dasar negara Indonesia. Kita bisa mengupas tema-tema politiknya KH. Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Ahmad Syafii Ma’arif, dan lain-lain.
Yang juga tak kalah menarik adalah mencermati sepak terjang partai politik dalam kancah pemilu di Indonesia. Herbert Feith misalnya melihat dinamika politik aliran pada pemilihan umum tahun 1955. Dinamika partai politik yang berasas Islam atau yang konstituennya mayoritas mungkin bisa menjadi salah satu bahasan dalam tema Islam dan politik. Metamorfosa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari jamaah pengajian di kampus hingga menjadi kekuatan politik adalah bagian yang sangat penting dikaji dalam hubungan Islam dan politik di Indonesia.
Konflik-konflik bernuansa agama, hemat saya adalah warna lain dari kajian Islam dan politik di Indonesia. Konflik di Poso, Ambon, Cikeusik, Sampang dan lainnya adalah bagian lain dari diskusi Islam politik. Bagaimana umat Islam merespon hal tersebut dan bagaimana ia ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dengan mengaitkannya dengan perebutan asset-aset ekonomi dan lainnya.
Dari itu semua, yang menurut saya tak kalah penting adalah dinamika Islam politik di level lokal. Seperti kita tahu, pasca reformasi ada banyak daerah yang menerapkan peraturan yang bernuansa Syariat Islam. Aceh, Sulawesi Selatan, beberapa daerah di Jawa Barat, membuat regulasi yang nyata-nyata diderivasi dari nomenklatur Islam. Taruhlah misalnya peraturan daerah tentang kewajiban baca tulis al-Qur’an, pembatasan terhadap aliran keagamaan tertentu dan lain sebagainya. Sering pula kita lihat efek dari hal tersebut adalah kemunculan kelompok-kelompok di level lokal yang menjadi garda pendukung diterapkannya peraturan daerah berbasis syariat tersebut.