Driyarkara, Pancasila dan Manusia

Oleh: Tedi Kholiludin

Tafsir Romo Nicolaus Driyarkara terhadap Pancasila, sependek bacaan saya terhadap tulisan-tulisannya, adalah sesuatu yang orisinil. Driyarkara menafsir Pancasila dengan menjadikan manusia sebagai titik tolaknya. ia menekankan tentang pentingnya “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Pancasila, bagi Driyarkara, melekat (inherent) pada eksistensi manusia-manusia. Karena itu, untuk sampai pada Pancasila, maka kita harus memandang kodrat manusia qua talis (sebagai manusia).

Jika kemudian Driyarkara mengaitkan Pancasila dan Religi, maka itu dua hal yang ada pada titik pijak yang sama, kodrat manusia. Tentu bukan berarti Driyarkara mengabaikan Tuhan dalam percakapan tentang Pancasila dan religi. Tapi dia memiliki penjelasan filosofis dalam hal hubungan antara agama, Pancasila dan manusia.

Di kalangan teman-teman Katolik, pemikiran Driyarkara barangkali sudah cukup populer. Beberapa karya yang membahas pemikirannya relatif banyak. Tulisan Romo Mudji Sutrisno, Silvano Keo Bhaghi, I. Praptomo Baryadi, Ign. Agung Satyawan dan lainnya. Mereka mengkaji pikiran Romo Jesuit kelahiran Purworejo itu dalam konteks Pancasila, hubungan agama dan negara, serta hakikat, jatidiri, serta kodrat manusia.

Tulisan ini pun hanya bersifat repetitif, menulis ulang ide Driyarkara tentang Manusia dan Pancasila.

***

Was ist der Mensch, und was ist seine Stellung im Sein? Apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas?

Pertanyaan yang diajukan oleh Driyarkara diatas sesungguhnya berawal dari soal yang diajukan oleh Max Scheler. Melihat rujukan yang digunakannya, Driyarkara ada pada pusaran fenomenologi atau fenomenologi metafisika kata PJ. Suwarno. Max Scheler merupakan fenomenolog Jerman yang berperan dalam menyebarkan fenomenologi Edmund Husserl. Inilah mengapa dalam salah satu bukunya, Pertjikan Filsafat, Driyarkara menjadikan Husserl sebagai rujukan dalam membahas fenomenologi tentang manusia.

Baca Juga  Semarang, Panggung Baru Intoleransi?

Pancasila, sebagai dalil-dalil filsafat, sesungguhnya adalah jawaban dari pertanyaan yang diajukan di atas. Saya coba menulis kembali ide Driyarkara dalam sub bab, Apakah Gerangan Manusia itu?

Adanya manusia, terang Driyarkara, bersamaan dengan jasmaninya. Manusia meng-ada- di alam jasmani. Ketika saya sedang berada di Semarang, maka Semarang itu adalah sebuah kota di Jawa Tengah yang merupakan bagian dari negara Indonesia dan dunia. Disitulah manusia berada. Kehidupan manusia, dengan begitu adalah menjasmani. Namun, manusia yang menjasmani itu berarti merohani. Mengapa begitu? “Sebab manusia itu persona (persoon) rohani. Semua kesibukannya adalah untuk mempribadikan diri. Jika kita hendak mengatakan dengan cara ‘yang’ aneh maka dapat juga kita berkata bahwa caranya manusia berada itu dapat disebut dialektis rohanisme,” kata Driyarkara.

Pengakuan manusia terhadap dirinya sendiri berarti juga mengakui yang lain. Menurut strukturnya, kita itu “berupa ada bersama.” Ada (sein) bukan berarti ada sendiri, tetapi ada bersama (Mit-sein). Manusia tak hanya Aku, tetapi juga Kita. Dalam aku (Ich) ada engkau (Du). Tanpa bertemu Engkau, Aku tidak akan menjadi Aku. Aku hanya menjadi Aku ketika bertemu Engkau.

Ada bersama (Mit-sein) itu berarti bahwa bersama dengan hormat dan cinta kasih (liebendes Mit-sein). Manusia tentu kerap diliputi rasa benci. Tapi, itu tak berarti bahwa cinta kasih bisa dihilangkan dalam ada bersama. Justru malah sebaliknya. Hal tersebut akan memperkuat kebenaran, karena benci menegasi cinta.

Fitrah manusia adalah kecintaan. Tapi, manusia tidak diniscayakan oleh kodratnya. Manusia bisa menyangkalnya, memutarbalikannya. Itulah benci. Jadi cinta adalah fundamental. Kalaulah ada bersama itu menurut fitrahnya bukan cinta, tapi benci, maka itu berarti bahwa ada itu sama dengan tidak ada, pengakuan (afirmasi) sama dengan penyangkalan (negasi), hidup sama dengan mati. Ada kontradiksi disitu.

Baca Juga  Dialog Antar Iman dan Pesan Universal Agama: Perspektif Islam

Pancasila sesungguhnya adalah tentang ada bersama dengan hormat dan cinta kasih.

***

Lalu mengapa penjabaran Diryarkara tentang Pancasila tidak dimulai dengan sila pertama?

Sila pertama ada di atas dalam hierarkis menurut nilai. Driyarkara mengakui bahwa dalam konteks struktur nilai, sila Ketuhanan adalah yang pertama. Tapi, cara lahirnya pengertian kita, tidak dimulai dengan sila itu. Sila pertama adalah fondasi semua sila. Namun, dalam kesadaran eksplisit, sila itu tidak kita mengerti sebagai yang pertama. Maksudnya, kesadaran yang bersifat jasmani. Manusia kemudian mengakui bahwa ia terhubung dengan alam jasmani dan sekaligus mengakui bahwa dirinya relatif, terbatas, tergantung dan seterusnya. Disinilah pengertian tentang Tuhan tersirat.

Driyarkara mengembangkan lima dalil filsafat tentang Pancasila. Saya akan kutipkan bagian pertama dari lima dalil itu. “Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada bersama-dengan-cinta-kasih (liebendes Miteinandersein). Jadi adaku harus aku jalankan sebagai cinta kasih pula. Cinta kasih dalam kesatuanku dengan sesama manusia, jika dipandang pada umumnya, disebut Perikemanusiaan.”

Dalam menjalankan Religi manusia itu menyatukan diri. Manusia itu bhinneka dan dalam hidupnya ia selalu berusaha untuk melawan disintegrasi. Tapi, dalam Religi, manusia menemukan integrasinya. Dengan melakukan Religi, kata Driyarkara, “…manusia mengadakan Neuformierung des ganzen Ich atau pembentukan baru dari pribadinya.”

Driyarkara nampaknya lebih memilih fenomenologis untuk membuat Tuhan jadi lebih dekat. “Jika manusia hanya berpikir secara filosofis,” demikian Driyarkara mengatakan, “Tuhan tampak sangat jauh. Akan tetapi, jika kita secara fenomenologis melihat pengalaman Religi, di situ Tuhan tampak sangat dekat.”

Disitulah, kata Driyarkara manusia mengalami die tielgreifendste personale Ich-Du-Beziehung, deren der Mench fahig ist atau hubungan Aku-Engkau, yan gsedalam-dalamnya, yang dapat dicapai manusia.

Baca Juga  Edisi VII : Mendamaikan Agama dan Filsafat
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini